Wednesday, November 30, 2011

Perundigan Roem Royen 7 Mei 1949

Dewan Keamanan PBB pada tanggal 23 Maret 1949 memerintahkan UNCI untuk pelaksanaan membantu perundingan antara Republik Indonesia dan Belanda. Dalam pelaksanaan tugas tersebut akhirnya berhasil membawa Indonesia dan Belanda ke meja perundingan, delagasi Indonesia diketuai Mr Moh Roem sedangkan Belanda oleh Br Van Royen.
Pada tanggal 17 April 1949 dimulailah perundingan pendahuluan di Jakarta yang diketuai oleh Merle Cochran, wakil Amerika Serikat dalam UNCI. Dalam perundingan selanjutnya Indonesia diperkuat Drs Moh Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Setelah melalui perundingan yang berlarut-larut akhirnya pada tanggal 7 Mei 1949 tercapat persetujuan yang kemudian dikenal dengan nama Roem-Royen Statements.
Isi persetujuan adalah sebagai berikut:
Delegasi Indonesia menyatakan kesediaan Pemerintah RI untuk:

1. Mengeluarkan perintah kepada pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.
2. Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
3. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sunguh dan lengkap kepada negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.
Pernyataan Belanda pada pokoknya berisi:
1. Menyetujui kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
2. Membebaskan semua tahanan politik dan menjamin penghentian gerakan militer.
3. Tidak akan mendirikan negara-negara yang ada di daerah Republik dan dikuasainya dan tidak akan meluaskan daerah dengan merugikan Republik.
4. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari negara Indonesia Serikat.
5. Berusaha dengan sungguh-sungguh supaya KMB segera diadakan setelah pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.


Hasil perundingan Roem-Royen ini mendapat reaksi keras dari berbagai pihak di Indonesia, terutama dari pihak TNI dan PDRI, ialah sebagai berikut:
Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal Sudirman pada tanggal 1 Mei 1949 mengeluarkan amanat yang ditujukan kepada komandan-komandan kesatuan memperingatkan agar mereka tidak turut memikirkan perundingan, karena akibatnya hanya akan merugikan pertahanan dan perjuangan.
Amanat Panglima Besar Sudirman itu kemudian disusul dengan maklumat-maklumat Markas Besar Komando Djawa (MBKD) yang meyerukan agar tetap waspada, walaupun ada perundingan-perundingan yang menghasilkan persetujuan.
Perkiraan TNI terhadap kemungkinan serangan dari pihak Belanda tidak meleset. Pasukan-pasukan Belanda yang ditarik dari Yogyakarta dipindahkan ke Surakarta. Dengan bertambahnya kekuatan Belanda di Surakarta dan akibatnya Letnan Kolonel Slamet Riyadi yang memimpin TNI di Surakarta memerintahkan penyerangan-penyerangan terhadap obyek-obyek vital di Solo. Di tempat lain pun perlawalan gerilya tetap berjalan, tanpa terpengaruh oleh perundingan apa pun hasilnya.
Penghentian tembak-menembak
Bersamaan dengan berlangsunya Konferensi Inter-Indonesia pada tanggal 1 Agustus 1949 di Jakarta diadakan perundingan resmi antara Wakil-wakil RI BFO dan Belanda di bawah pengawasan UNCI yang menghasilkan Persetujuan Penghentian Permusuhan. Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI melalui Radio Republik Indonesia di Yogya pada tanggal 3 Agustus 1949 mengumumkan perintah menghentikan tembak-menembak, hal serupa dilakukan pula oleh Jenderal Sudirman, Panglima Besar TNI. Pada hari yang sama, AHJ Lovink, Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Belanda di Indonesia memerintahkan kepada serdadu-serdadunya untuk meletakkan senjata, yang berarti kedua belah pihak menghentikan permusuhan secara resmi yang pelaksanaannya diawasi oleh KTN dari PBB.
Juga dibicarakan bahwa nanti TNI akan menjadi inti dari pembentukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) yang anggota-anggotanya terdiri bekas KNIL, dan anggota KL (Koninklyeke Leger) akan kembali ke negerinya (Nederland).
Di samping rasa syukur bahwa perjuangan bersenjata telah berakhir, di kalangan masyarakat terdapat pula rasa tidak puas. Memang terbukti bahwa Belanda telah meninggalkan bom-bom waktu yang akan mengganggu ketenteraman bangsa Indonesia di dalam usahanya untuk mengisi kemerdekaan.
Ya, bom-bom waktu itu berupa pemberontakan-pemberotakan serdadu-serdadu KNIL antaranya; di Bandung APRA-nya Westerling, Pemberontakan Andi Azin di Makassar dan Pemberontakan RMS (Rakyat Maluku Selatan) tapi syukurlah semuanya dapat dilumpuhkan oleh TNI/APRIS.

Tuesday, November 22, 2011

Kronologi Pertempuran 10 November 1945

Rekonstruksi Peristiwa Penyobekan Bendera di Hotel Yamato
Berita akan mendaratnya Tentara Sekutu tanggal 25 Oktober 1945 di Surabaya dikawatkan pertama oleh Menteri Penerangan Amir Syarifuddin dari Jakarta. Dalam berita tersebut menteri menjelaskan tugas Tentara Sekutu di Indonesia, yaitu mengangkut orang Jepang yang sudah kalah perang, dan para orang asing yang ditawan pada zaman Jepang. Menteri berpesan agar pemerintah daerah di Surabaya menerima baik dan membantu tugas Tentara Sekutu tersebut.
Sikap politik pemerintah pusat tersebut sulit diterima rakyat Surabaya pada umumnya. Rakyat Surabaya mencurigai kedatangan Inggris sebagai usaha membantu mengembalikan kolonialisme Belanda di Indonesia. Kasus Kolonel P.J.G. Huijer, perwira Tentara Sekutu berkebangsaan Belanda, menjadi salah satu alasannya kecurigaan itu. Kolonel P.J.G. Huijer yang datang di Surabaya pertama kali pada tanggal 23 September sebagai utusan Laksamana Pertama Patterson, Pimpinan Angkatan Laut Sekutu di Asia Tenggara, ternyata membawa misi rahasia pula dari pimpinan Tertinggi Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Huijer yang bersikap dan bertindak terang-terangan menentang revolusi Indonesia akhirnya ditangkap dan ditawan di Kalisosok oleh aparat keamanan Indonesia.
Hari menjelang datangnya tentara Inggris di Surabaya, Drg. Moesopo yang sementara itu telah mengangkat diri menjadi Menteri Pertahanan RI, berseru pada rakyat Surabaya, agar bersiap siaga menghadapi kedatangan pasukan Inggris. Dengan mengendarai mobil terbuka dan pedang terhunus di tangan, ia berteriak-teriak di sepanjang jalan, menyadarkan rakyat atas bahaya yang sedang mengancam. Dalam pidato radionya pada malam harinya, secara khusus Moestopo memperingatkan secara keras pada tentara Inggris dan NICA (Netherlands Indies Civil Administration, Pemerintah Penjajahan Belanda atas Indonesia di pengungsian ketika Jepang menduduki Indonesia, dan merencanakan kembali menjajah Indonesia lagi setelah bubar perang) ~ diucapkan “Nika” ~ agar mereka jangan mendarat di Surabaya. “Inggris! Nika! Jangan mendarat! Kalian orang terpelajar! Tahu aturan! Jangan mendarat! Jangan mendarat!” pidatonya di radio begitu terus.
Beberapa jam setelah kapal Inggris merapat di Tanjung Perak, dua orang perwira staf Mallaby (komandan pasukan Inggris) menemui Gubernur Soerjo. Utusan Mallaby itu mengundang Gubernur Soerjo dan seorang wakil BKR agar bertemu dengan Mallaby di kapal untuk berunding. Undangan itu ditolak karena sebagai pejabat baru Gubernur Soerjo sedang memimpin rapat kerja pertama. Dalam rapat kilat yang diadakan kemudian, diputuskan untuk memberi mandat kepada Drg. Moestopo pimpinan BKR untuk berunding dengan pihak Inggris dan bertindak atas nama Pemerintah Jawa Timur.
Pertemuan Mallaby dengan Moestopo yang didampingi dr. Soegiri, pejuang Surabaya yang sangat aktif, Moh. Jasin, pimpinan Polisi Istimewa serta Bung Tomo, belum menghasilkan kesepakatan. Perundingan dilanjutkan 26 Oktober esoknya di gedung Kayoon ex gedung Konsulat Inggris. Pertemuan tersebut dihadiri Residen Soedirman, Ketua KNI Doel Arnowo, Walikota Radjamin Nasution dan HR Mohammad Mangundiprojo dari TKR (TKR = Tentara Keamanan Rakyat, resmi dibentuk tanggal 5 Oktober 1945, sebelumnya bernama BKR, Badan Keamanan Rakyat). Menghasilkan perjanjian, dalam pasukan Inggris yang mendarat tidak disusupi pasukan Belanda, tercapai bekerjasama Indonesia-Tentara Sekutu dengan membentuk Kontact Bureau, yang akan dilucuti senjatanya hanyalah Jepang saja, sedang pengawasan dipegang oleh tentara Sekutu, dan selanjutnya tentara Jepang itu akan dipindahkan ke luar Jawa.
Sesuai dengan kesepakatan tersebut, pasukan Inggris diperkenankan menggunakan beberapa gedung penting di kota, seperti gedung Kayoon digunakan sebagai Markas Brigade 49 (Inggris), gedung HBS (sekolah kompleks Jl. Wijaya Kusuma), gedung Internatio, Rumah Sakit Darmo tempat para tawanan perang dan interniran dirawat, masing-masing ditempatkan satu batalyon pasukan Inggris. Dalam gerakan menduduki tempat yang disetujui itu Inggris selanjutnya juga menduduki sejumlah tempat strategis di luar perjanjian, seperti lapangan terbang Tanjung Perak, perusahaan listrik Gemblongan, Stasiun KA, Kantor Pos Besar, Gedung Studio Radio di Simpang. Lebih kurangajar lagi, malam itu Moestopo disergap, dipaksa menunjukkan di mana Kolonel PG Huijer ditawan, yang berakhir dengan penyerbuan pasukan Inggris ke penjara Kalisosok dan membebaskan orang-orang Belanda yang ditawan pemuda. Inggris juga melucuti kesatuan Polisi RI Seksi Bubutan dan Nyamplungan.
Esok harinya, 27 Oktober, pesawat Inggris menyebarkan pamflet, isinya menuntut dan mengancam, agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali kepada Inggris senjata dan peralatan perang mereka yang direbut dari tentara Jepang. Residen Soedirman dan drg. Moestopo segera memperingatkan Brigjen Mallaby, bahwa isi pamflet itu jelas bertentangan dengan perjanjian yang telah disetujui bersama. Rupanya Brigjen Mallaby sendiri juga tak tahu-menahu dengan pamflet yang berasal dari Markas Besar Tentara Inggris di Jakarta itu. Tetapi sebagai tentara harus tunduk pada putusan atasan.
Suasana panas Surabaya mencapai klimaksnya pada tanggal 28 Oktober 1945. Pada hari itu sekitar jam 17.00, di Markas Pertahanan Jl. Mawar 10, markas dan sekaligus tempat Studio Radio Pemberontakan pimpinan Bung Tomo, diselenggarakan pertemuan antara sejumlah pimpinan pasukan BKR dan pemimpin Badan Perjuangan Bersenjata. Dari pihak BKR yang hadir HR Mohammad Mangundiprojo, Sutopo dan Katamhadi, ketiganya ex Daidancho Peta. Dari Badan Perjuangan Bersenjata yang hadir antara lain Soemarsono dari PRI (markas besarnya di Balai Pemuda), Bung Tomo dari BPRI. Putusan rapat mereka tidak mentolerir tindakan provokatif tentara Inggris. Mereka sepakat untuk segera melancarkan serangan terhadap kedudukan Inggris dengan perhitungan mumpung pasukan Inggris saat itu masih lemah, menduduki tempat yang terpencar-pencar.
“Om 5 uur begint de Indonesische opstand!” (Pada jam 05.00 mulailah perlawanan bangsa Indonesia), demikian bunyi kebulatan tekad mereka.
Sore itu juga, Soemarsono melalui radio pemberontakan di Jl. Mawar 10 mengumumkan kebulatan tekad tersebut. Dalam pidato radionya ia antara lain menyatakan bahwa, “Tentara Inggris yang berkedok sebagai Tentara Sekutu itu sebenarnya adalah tentara penjajah yang membantu NICA untuk menghancurkan kemerdekaan bangsa Indonesia, karenanya harus dilawan!” Pidato Soemarsono segera disusul oleh pidato Bung Tomo yang sebagai orator ulung ia berhasil membakar semangat rakyat Surabaya khususnya dan rakyat Indonesia umumnya, untuk melawan tentara Inggris dan Belanda.
Sore hari itu Surabaya seperti kota mati. Jalan-jalan sunyi mencekam, menantikan datangnya badai pertempuran. Kesatuan TKR, atas perintah Moestopo dan Jososewojo, sejak tengah hari telah ditarik keluar kota, mempersiapkan lini kedua di Sepanjang mereka akan melaksanakan perang rahasia dan perang gerilya seperti yang diinstruksikan oleh Moestopo. Tetapi ketika pada malam harinya pertempuran pecah, mereka bergerak kembali ke kota.
Malam hari itu, tempat atau gedung yang diduduki oleh tentara Inggris, dikepung oleh rakyat Surabaya, seperti ceceran gula pasir dikerubungi semut. Pengepungan berlanjut sampai tiga hari. Pasukan Inggris yang terkepung, tidak bisa bergerak dari tempatnya, tidak bisa minta bantuan dari tempat lain, kehabisan peluru, air dan makanan. Bertahan pasti hancur, keluar tidak mungkin, pasti dihadang oleh rakyat Surabaya bersenjata sepanjang jalan. Rakyat Surabaya saat itu semangatnya bertempur berkobar-kobar, tidak perduli senjata apa saja yang bisa digunakan untuk melawan pasukan Inggris, senpi atau senjam. Bandha nekad! (bonek). Ada yang baru hari itu memiliki senapan, baru jam itu belajar menembak. Lalu kemaruk menembakkan senjata apinya. Sampai ada tentara Inggris yang jelas mati terapung di sungai, tetap saja diberondong peluru untuk latihan menembak tepat sasaran.
Melihat pasukannya tak berkutik akan hancur, Brigjen Mallaby panik. Dia harus bisa mencegah kehancuran semesta itu. Harus dicarikan pemimpin Indonesia yang masih dipatuhi oleh rakyat Surabaya. Siapa? Presiden RI, Bung Karno. Mallaby minta agar Presiden RI didatangkan di Surabaya. Dengan permintaan itu, tentara Inggris yang semula tidak mengakui adanya negara Republik Indonesia, jadi mengakui kedaulatan RI. Presiden Soekarno bersama Wakil Presiden Mohamad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin terbang ke Surabaya 29 Oktober 1945 dengan pesawat RAF. Lapangan terbang Morokrembangan juga dikepung oleh rakyat Surabaya. Karena sudah tidak percaya lagi dengan omongan orang Inggris, maka Bung Tomo memerintahkan kalau yang turun bukan Bung Karno, ditembak mati saja.
Sejak pecahnya pergolakan merebut senjata Jepang (30 September 1945) dan disusul dengan pendaratan Tentara Sekutu, Moestopolah orang yang paling menonjol dan memikul tanggung jawab revolusi di Surabaya. Dialah orang pertama yang berhadapan dan membuat perjanjian serah-terima kekuasaan sekali gus perlucutan seluruh senjata Jepang dari Mayor Jendral Iwabe Syigeo selaku Panglima AD Jepang di Jawa Timur di Gedung HVA, (sekarang Jl. Merak), 30 September 1945. Ketika Tentara Sekutu mendarat di Surabaya, Moestopo pulalah orang pertama yang menghadapinya. Kecuali berunding yang menghasilkan keputusan yang sulit, dia juga telah merasakan pemaksaan yang kontra dengan hasil perjanjian. Moestopo menghadapi persoalan yang dilematis, yaitu menghadapi tekanan dari dua kubu yang saling bertentangan. Tekanan pertama adalah pesan dari Pemerintah Pusat RI di Jakarta, yang meminta kepadanya, demi kepentingan politik, agar menerima dengan baik kedatangan Tentara Sekutu di Surabaya. Sedangkan tekanan kedua adalah datang dari rakyat Surabaya, yang cenderung menentang pendaratan Tentara Sekutu di Surabaya. Di mata pemuda Surabaya, Inggris dan Belanda adalah dua negara Sekutu yang sama-sama imperialis, karenanya mereka mencurigai Inggris bersekongkol dengan Belanda untuk mengembalikan penjajahan di Indonesia. Tekanan mental lebih berat ketika Inggris pada 28 Oktober mengultimatum agar rakyat Surabaya menyerahkan kembali senjata yang telah diperolehnya dari Jepang.
Menanggapi ultimatum itu Moestopo memerintahkan kepada BKR/TKR untuk segera bergerak ke luar kota. Sesuai dengan perintah Moestopo (pemimpin TKR Jatim), Jonosewojo (pemimpin TKR Karesidenan Surabaya) memindahkan pasukannya ke selatan, ke Darmo dan kemudian ke Ketegan di luar kota, tapi kemudian kembali masuk lagi ke Gunungsari. Banyak pihak yang tak setuju dengan taktik Moestopo tersebut. Bahkan Soengkono, pemimpin BKR Kota Surabaya, tetap bertahan di Kota Surabaya. Soengkono tetap menyebut kesatuannya BKR Kota Surabaya, bukan TKR.
Akibat kelelahan fisik yang berkepanjangan dan tekanan mental yang berat, pada malam 28 Oktober Moestopo menderita mental break down. Perbuatannya aneh. Malam itu Moestopo menanggalkan pakaian seragam militernya dan menggantinya dengan pakaian rakyat, berbaju dan bercelana panjang hitam gaya Madura, berselempangkan sarung dan mengenakan ikat kepala. Dengan penyamarannya itu Moestopo mau melaksanakan konsep strategi perangnya yang dalam bahasa Jerpang disebut Himizhu Zensosen dan Singei-se, artinya perang rahasia dan perang gerilya kota. Setelah mengadakan rapat di markasnya di gedung HVA, Moestopo kemudian bergerak ke luar kota. Ia mengendarai mobil bersama Sudibyo, mahasiswa kedokteran gigi. (Selain jadi Daidanco PETA di Gresik, Moestopo juga jadi dosen pada Fakultas Kedokteran Gigi = Shika Daigakku Surabaya, karena itu banyak sekali mahasiswanya yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan di Surabaya ini). Di tengah perjalanan ia mampir dahulu ke Markas PRI (Balai Pemuda), untuk menjelaskan rencana perannya dan mengajak para pemuda PRI meninggalkan kota, sebab Inggris akan melucuti senjata mereka, ujarnya.
Di Wonocolo, Moestopo bertemu dengan dua orang wartawan Surabaya, Wiwiek Hidayat dan Suleimanhadi, kedua wartawan itu lalu diajak turut serta memeriksa kesiapan perang di sekitar Surabaya.
Mereka berempat mengendarai mobil sedan hitam de Soto, dengan Moestopo sendiri yang mengemudikannya. Di tengah malam buta itu Moestopo mengebut melalui jalan pedesaan menuju Sidoarjo dan kemudian bermaksud menuju Gresik dengan melewati jalan Sidoarjo-Krian-Balungbendo-Mojokerto. Di setiap pos penjagaan, bila kendaraan Moestopo disetop untuk diperiksa ia kadang-kadang menjelaskan identitas dirinya, bukan saja sebagai pimpinan TKR dan Menteri Pertahanan RI, tetapi juga menyebut dirinya sebagai “Ratu Adil”.
Sekitar jam 02.00 tengah malam, mereka tiba di Markasnya Marhadi, komandan BKR/TKR di Mojokerto. Karena kecapekan, di tempat tersebut mereka langsung jatuh tertidur. Di saat mereka tidur lelap itulah mendadak mereka disergap oleh satu kesatuan bersenjata yang tak dikenal. Mereka termasuk Moestopo, dengan tangan diborgol dinaikkan truk, lalu dibawa ke bekas Pabrik Gula Brangkal. Esok harinya barulah mereka tahu, bahwa yang menawan mereka itu adalah anak buah Mayor Sabarudin, PTKR Sidoarjo. Hari itu mereka dijemput sendiri oleh Mayor Sabarudin, dan dengan mata tertutup mereka lalu dibawa ke markas Sabarudin di Sidoarjo.
Di tempat terpisah Sabarudin menemui Wiwiek Hidayat dan Suleimanhadi. Sabarudin mengatakan, bahwa kedua wartawan itu boleh bebas kembali ke Surabaya, tetapi bersama itu ia mengancam, dengan pistol dimain-mainkan di tangan, agar mereka jangan sampai membocorkan rahasia ditawannya Moestopo tersebut. Bila sampai bocor, mereka bersama keluarganya akan dihabisi.
Kepada Moestopo Sabarudin berterus terang bahwa dia diperintahkan oleh atasannya untuk menangkap dan membunuh Moestopo. Tetapi karena di masa Peta dahulu selaku anak buah Moestopo ia pernah diselamatkan jiwanya dari kekejaman Jepang, maka ia tak akan membunuh Moestopo.
Kisah tentang diri Sabarudin ini sungguh sangat menarik. Yang dimaksud atasannya, mungkin sekali Jonosewoyo, karena Sidoarjo adalah kekuasaan pemimpin TKR Karesidenan Surabaya, Jonosewojo. Apalagi kemudian hari, ketika terjadi perebutan jabatan militer di Jawa Timur antara Jonosewoyo dengan HR Mohamad Mangundiprojo, Sabarudin membela mati-matian Jonosewojo, menculik dan membantai HR Mohamad dari Jogja sampai di Kertosono (peristiwa 1946). Sabarudin juga terkenal kejam, memancung leher bekas saingannya ex-chudancho Soerjo secara terbuka di alun-alun Sidoarjo. Ex-chudancho Soerjo waktu itu jadi staf keuangan TKR Jatim pimpinan Moestopo.
Dua hari ditawan Sabarudin, pada tanggal 30 Oktober dengan dikawal oleh Kapten Hamidun, Kepala Stafnya Sabarudin, Moestopo diantarkan menghadiri rapat pertemuan dengan Presiden Soekarno di Gubernuran Surabaya yang dihadiri oleh Bung Hatta dan para pejabat tinggi di Surabaya. Waktu itu seruan berhenti tembak-menembak sudah disiarkan. Bung Hatta menganggap Moestopo sebagai biang kerok pergolakan bersenjata melawan Tentara Sekutu di Surabaya. Oleh Presiden Moestopo mulai saat itu dipensiun dan selanjutnya diangkat menjadi Penasihat Agung Presiden RI. Dengan begitu berakhirlah peran Moestopo selaku pimpinan tertinggi TKR di Jawa Timur. Secara hirarkhis, orang kedua Urusan Angkatan Darat, HR Mohamad Mangundiprojo menggantikan kedudukan Moestopo, bersama Soengkono mewakili TKR dalam forum perundingan dengan pihak Inggris. Moestopo yang membikin gara-gara pergolakan pertempuran tiga hari (28, 29, 30 Oktober 1945) yang arek-arek Surabaya bisa melumpuhkan pasukan Inggris, tetapi Moestopo sendiri tidak ikut bertempur, karena ditawan oleh Sabarudin. Buntut pertempuran tiga hari adalah tewasnya Mallaby yang berlanjut dengan pertempuran 10 November 1945 yang hasilnya Indonesia Merdeka akibat gigihnya perlawanan bersenjata, tetapi Moestopo juga tidak terlibat pertempuran karena sudah dipensiun. Ini salah satu gambaran bahwa potensi lokal menjadi tak berdaya karena beda pandang dengan pusat pemerintahan.
Setelah Mayor Jendral D. Hawthorn, Panglima Tentara Sekutu di Indonesia tiba di Surabaya hari itu (30 Oktober), maka perundingan dengan pihak Inggris dilanjutkan lagi di Gubernuran Surabaya. Hadir dalam perundingan itu selain Presiden, Wakil Presiden dan Menteri Penerangan RI, juga para tokoh pimpinan Surabaya seperti Gubernur Soerjo, Residen Soedirman, Doel Arnowo, Roeslan Abdulgani, HR Mohamad, Soengkono, Atmadji, Soemarsono dan Bung Tomo.
Perundingan tersebut menghasilkan persetujuan, inti isinya adalah Inggris membatalkan perintah untuk melucuti senjata TKR dan pemuda, Inggris mengakui status TKR, Tentera Sekutu akan ditarik dari gedung-gedung yang diduduki, dan akan terpusat di Tanjung Perak dan kamp tawanan perang di Darmo, Daerah pelabuhan Tanjung Perak akan dijaga Tentara Sekutu dan TKR, Hubungan antara Darmo dan Tanjung Perak harus terjamin aman untuk mengangkuti tawanan (truknya pasukan Inggris), Kedua pihak mempertukarkan para tawanan, Dibentuk badan penghubung (Kontak Biro) antara Tentera Sekutu dan penguasa Surabaya. Susunan anggota Kontak Biro pihak Indonesia: Residen Soedirman, Doel Arnowo (KNI), Roeslan Abdulgani (KNI), HR Mohamad Mangundiprojo (TKR), Soengkono (BKR), Armadji (TKR Laut), Soejono (Polisi RI), Kusnandar (PRI), TD Kundan (penterjemah). Pihak Inggris: Brigjen A.W.Mallaby, Kolonel L.H.O.Pugh, Mayor M.Hobson, Kapten H.Shaw, dan Wing Comander Groom.
Setelah dicapainya persetujuan tadi, rombongan presiden dan Mayjen Hawthorn, siang itu juga (30 Oktober) kembali ke Jakarta, sedang anggota Kontak Biro melanjutkan rapat di kantor Gubernuran hingga jam 16.00. Karena di beberapa tempat masih terjadi tembak-menembak, Kontak Biro memutuskan untuk mengadakan perjalanan keliling guna menghentikan pihak-pihak yang masih saling menembak. Rombongan mengendarai sejumlah mobil disertai sebuah mobil polisi RI sebagai pengawal di mukanya. Perjalanan Kontak Biro sampai di gedung Internatio, di Jembatan Merah. Tembak-menembak bisa dihentikan setelah Mallaby bicara dengan komandan pasukan Inggris di depan gedung (tidak masuk gedung). Ketika rombongan meninggalkan gedung, matahari mulai terbenam, sampai di mulut Jembatan Merah, rakyat Surabaya tetap minta supaya tentara Inggris di gedung Internatio meninggalkan gedung. Maka dikirim utusan ke gedung, menyeberangi lapangan segi tiga. Dari pihak Inggris Kapten Shaw, pihak RI HR. Mohamad Mangundiprojo serta penterjemah TD Kundan. Brigjen Mallaby tetap menunggu di mobil hitam yang dikendarai oleh Residen Soedirman di mulut Jembatan Merah. Ketika utusan beberapa menit masuk ke gedung, terdengar tembakan dari dalam gedung. Maka ramailah kembali tembak-menembak antara rakyat Surabaya yang masih mengurung gedung dengan pihak Inggris yang di dalam gedung. Terkena hujan peluru, para anggota Kontak Biro Indonesia lari tunggang langgang meninggalkan tempat, ada yang menceburkan diri ke sungai, mencari selamat.
Keesokan harinya tersiar kabar bahwa Brigjen Mallaby tewas tertembak di dalam mobil hitam. Tewasnya seorang brigadir jendral di kancah pertempuran di Surabaya, tentulah tidak direlakan begitu saja oleh Pasukan Inggris. Tentu akan ada pembalasan. Maka pada tanggal 3 November 1945 dikirimkanlah satu divisi lebih bantuan pasukan Inggris didaratkan di Surabaya lengkap dengan panser, tank, meriam dan pesawat terbangnya. Sebagai panglima pasukan yang baru di Surabaya adalah Mayor Jendral Mansergh. Tanggal 7 November, Mansergh mengundang Gubernur Soerjo, memperkenalkan diri di Bataviaweg (Jalan Jakarta). Sikap Mansergh kaku, sombong, ucapannya terang-terangan menyalahkan dan menghina para pemimpin Indonesia. Langsung membacakan surat yang diterjemahkan oleh TD Kundan. Jelas sekali kedatangan Mansergh untuk membalas dendam. Esok harinya 8 November, Gubernur Soerjo kembali menerima sepucuk surat dari Mayjen Mansergh, yang lebih serius menuduh pimpinan Surabaya tidak mampu menepati janji persetujuannya, maka tentaranya (Inggris) akan memasuki Surabaya dan sekitarnya, demikian juga daerah lain Jawa Timur untuk melucuti “gerombolan yang tidak mengenal aturan tertib hukum”.
Dalam surat jawabannya tertanggal 9 November 1945 Gubernur Soerjo membantah segala tuduhan Mansergh itu. Juga dijelaskan persetujuan antara Mayjen Hawthorn dan Soekarno, batas-batas di mana pasukan Inggris boleh berada, yang justru dilanggar oleh Inggris. Surat itu diantarkan sendiri oleh Roeslan Abdulgani dan Kundan di markas Jl. Jakarta. Anehnya, begitu surat dibaca, Mansergh langsung menyerahkan dua buah dokumen, sebagai jawaban yang rupanya jauh-jauh hari telah disiapkan. Dokumen pertama adalah sebuah ultimatum kepada bangsa Indonesia di Surabaya dan satunya adalah sebuah surat penjelasan kepada R. Soerjo tertanggal 9 November 1945. Inti surat ultimatum tersebut adalah, agar semua pemimpin Indonesia termasuk pemimpin gerakan pemuda, kepala polisi dan petugas studio Radio Surabaya harus melaporkan diri di Bataviaweg menjelang jam 18.00 tanggal 9 November 1945. Mereka harus mendekat dengan berbaris satu per satu dengan membawa senjata yang dimilikinya. Senjata itu harus diletakkan dalam jarak 100 yard dari tempat pertemuan dan kemudian mereka semua harus mendekat dengan kedua tangan diletakkan di atas kepala, selanjutnya semua akan ditangkap dan ditawan. Mereka harus menandatangi dokumen menyerah tanpa syarat.
Sikap rakyat Surabaya atas ultimatum itu dicerminkan oleh pidato radio Gubernur Soejo hari itu juga (9 November) pada tengah malam jam 23.00. Antara lain ia berkata, “….berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: Lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetep menolak ultimaum itu!”
Maka pagi hari tanggal 10 November 1945, Kota Surabaya digempur oleh pasukan Mansergh dari darat, laut dan udara.
*Suparto Brata, saksi dan pemerhati sejarah 10 November 1945 di Surabaya.
Tidak ada pertempuran yang dilancarkan Republik yang dapat disebandingkan dengan pertempuran Surabaya itu, baik dalam keberanian maupun kegigihannya (David Welch dalam Birth of Indonesia)

Perang Kemerdekaan Periode



Proklamasi 17 Agustus 1945 membakar semangat arek-arek Surabaya dalam menentang penjajah, sampai terjadi di Surabaya Inferno yang membangunkannya bangsa ditekan akan dihidupkan kembali untuk menentang penjajah.
Pada Senin, 3 September, 1945, Residen Soedirman memproklamasikan Pemerintahan RI di Jawa Timur dan telah dijawab dengan aksi menampilkan Bendera seluruh penjuru Surabaya. Pesawat Belanda menyebarkan pamflet pengumuman bahwa Sekutu / Belanda akan mendarat di Surabaya yang menyebabkan Belanda arogan menampilkan bendera Belanda di Hotel Orange pada September 19,1945, ini arek-arek kemarahan yang disebabkan Suroboyo yang muncul, sehingga insiden berdarah terjadi dengan pembunuhan Mr Ploegman. Warna biru di bendera Belanda (merah, putih, biru) itu robek oleh Arek Arek Suroboyo dan terbang bendera Merah Putih (Sang Merah Putih) di ruang megah.
Pada tanggal 25 Oktober 1945 tentara Inggris mendarat di Surabaya, brigade ke-49 dengan kekuatan 6.000 serdadu dipimpin oleh penjara. Jend. A.W.S. Mallaby, pasukan dari kancah perang dunia yang terdiri dari pasukan Gurkha dan Nepal dari India Utara. Pada hari berikutnya, pada 26-27 Oktober 1945, pesawat Inggris menjatuhkan beberapa selebaran yang memerintahkan penduduk Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan senjata. Pada Oktober 28,1945 insiden di seluruh sudut kota terjadi.
Puncak tragedi ini pada 30-31 Oktober 1945, tentara Inggris meninggalkan Gedung Internatio. Brigjen. Mallaby meninggal, karena mobilnya meledak. Pada tanggal 9 November 1945 ultimatum yang ditandatangani oleh May. Jend. E.S. Masergh Panglima Divisi Tentara Sekutu di Jawa Timur, meminta masyarakat untuk menyerahkan senjata tanpa syarat sebelum pukul 18.00 dan jika tidak dilakukan sampai pukul 06.00 pada tanggal 10 November 1945 di pagi hari akan diambil tindakan terhadap dengan kekuatan Tentara militer, Laut dan Udara.
Berturut-turut, pada pukul 21 .00 dan 23.00 setelah melalui Pemerintah Pusat di Jakarta tidak berhasil merubah pendirian dipimpin oleh Tentara Inggris untuk mencabut ultimatumnya. Gubernur Soerjo berpidato yang konfirmasi, "Lebih baik hancur daripada dijajah kembali". Pada tanggal 10 November 1945, pertempuran besar di sudut kota, terjadi perlawanan massa rakyat Surabaya menentang pasukan sekutu, begitu banyak korban jatuh di mana-mana, selama 18 hari Surabaya seperti di neraka. Dengan hancurnya kubu laskar rakyat di Gunung Sari, pada 28 November 1945 menyebabkan semua Kota Surabaya jatuh ke tangan Ally kontemporer.
Mengingat kepahlawanan Arek-Arek untuk Surabaya yang berjuang dengan berani sampai titik darah terakhir, demi kedaulatan dan mendirikan tujuan bangsa Indonesia maka dibangun Monumen Pilar Hero (Tugu Pahlawan) yang dinyatakan pada 10 November 1962 oleh Presiden Indonesia.
Selain itu, juga dibangun Monumen taruhannya bambu (Bambu Runcing) untuk mengingat semangat Arek-Arek Suroboyo yang berani menentang penjajah dengan senjata sebuah eksistensi walaupun hanya dengan reng bambu yang ujungnya dipertajam.

Saturday, November 19, 2011

Sejarah Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh


Sejarah Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh  

Ada dua versi sejarah Masjid Raya Baiturrahman. Ada yang menyebut Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah membangun masjid ini pada abad ke 13. Namun versi lain menyatakan Masjid Baiturahman didirikan pada abad 17, pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Namun yang pasti bahwa nama Baiturahman, diberikan oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu masjid ini menjadi salah satu pusat pengembangan ajaran Islam di wilayah kesultanan Aceh Darussalam.

Masa Penjajahan Belanda

Maket masjid  asli Masjid Baiturrahaman di musium Aceh, berupa masjid 
tradisional Indonesia dengan atap limat bersusun (archnet)
Bangunan sekarang bukan lagi bangunan zaman kesultanan. Pada masa kesultanan, gaya arsitektur Baiturahman mirip masjid-masjid tua di Pulau Jawa. Bangunan kayu dengan atap segi empat dan bertingkat. Masjid pertama itu dibakar Belanda tahun 1873 ketika masjid tersebut dijadikan pusat kekuatan tentara Aceh melawan Belanda. Dan pada tahun 1873 itu terjadi pertempuran besar antara tentara Aceh dengan tentara Belanda yang menewaskan perwira tinggi Belanda, Mayor Jenderal Kohler. Pertempuran di masjid ini dikenang lewat pembangunan prasasti Kohler di bawah pohon Geulempang di halaman masjid, di dekat salah satu gerbang masjid. Pembakaran itu menambah kemarahan rakyat dan tentara Aceh kepada Belanda. Kemudian menuntut dibikin baru. Empat tahun kemudian, mesjid yang baru dibangun dengan satu kubah, berkonstruksi beton.

Masjid Raya Baiturrahman sekitar tahun 1910-30 (wiki)
Peletakan batu pertama pembangunan kembali masjid dilakukan tahun 1879 oleh Tengku Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G. J. van der Heijden. Pembangunan mesjid ini dirancang arsitek Belanda keturunan Italia, De Brun. Bahan bangunan masjid sebagian didatangkan dari Penang - Malaysia, batu marmer dari Negeri Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai dari Cina, besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Myanmar dan tiang-tiang mesjid dari Surabaya. Pembangunan kembali masjid dengan satu kubah, selesai dan diresmikan pada 27 Desember 1883.Pada masa residen Y. Jongejans berkuasa di Aceh masjid ini kembali diperluas.

Seiring dengan semakin bertambahnya penduduk Banda Aceh dan untuk meredakan kemarahan rakyat Aceh maka masjid diperluas lagi kiri kanannya pada tiga tahun kemudian. Ditambahlah dua kubah lagi di atasnya sehingga menjadi tiga kubah. Belanda kemudian meninggalkan Aceh. Bumi Nangroe Aceh Darussalam bergabung dengan Republik Indonesia.

Kemegahan masjid Raya Baiturrahman masih kekar hingga kini (panoramio)

Indonesia dan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie)

Pada abad ke-16 Portugis dan Spanyol menguasai pelayaran ke Asia serta menguasai perdagangan rempah-rempah antara Asia dengan Eropa, khususnya perdagangan lada. Dalam perkembangan selanjutnya di Eropa, Raja Portugal memiliki kekuasaan tunggal atas pengangkutan dan pembelian hasil bumi dari Asia. Semua kontrak jual beli hasil bumi ditentukan harganya oleh Raja Portugal. Orang-orang Belanda yang dikenal sebagai pedagang merasa dirugikan oleh tindakan Portugal tersebut, dan akhirnya berusaha mencari jalan sendiri untuk menghindari monopoli perdagangan Portugal.
Atas inisiatif Staten-Generaal (semacam Dewan Rakyat) pada tanggal 20 Maret 1602 didirikan perusahaan dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di Amsterdam, yang kemudian berkembang di berbagai kota lainnya. Para pedagang besar Belanda sebagai pemegang sahamnya. Dalam waktu hanya lima tahun VOC memiliki 15 armada yang terdiri dari 65 kapal yang memulai pelayarannya dari pelabuhan-pelabuhan Rotterdam, Amsterdam, Middelburg, Vlissingen, Veere, Delft, Hoorn dan Enkhuizen.
Sebelum terbentuknya VOC, ekspedisi Belanda pertama ke Asia telah melakukan tiga kali pelayaran antara tahun 1594 – 1596 namun  mengalami kegagalan. Para pelaut banyak yang jatuh sakit karena keracunan makanan yang sudah membusuk. Kapal pertama Belanda mendarat di Banten tahun 1596, tetapi tidak mendapat rempah-rempah seperti yang diharapkan. Pelayaran selanjutnya ke Maluku (kapal “De Houtman” dan “Van Beuningen”) mengalami kegagalan  juga, karena terjadi bentrokan fisik antara awak kapal dengan penduduk setempat sehingga banyak pelautnya yang mati. Pada tahun 1597 tiga dari empat kapal kembali ke Belanda dan dari 249 awak kapal hanya tinggal 90 orang yang masih hidup.  Ekspedisi kedua dilakukan pada tahun 1598 dengan 8 buah kapal dibawah komando kapten kapal van Neck dan van Warwijk yang berhasil membawa rempah-rempah dalam jumlah  besar dari kepulauan Maluku terutama dari Banda, Ambon dan Ternate.
VOC merupakan perusahaan multinasional yang pertama di dunia yang tersebar di banyak negara, dan dalam melaksanakan kegiatan perdagangannya tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan yang tidak beradab, termasuk pembunuhan terhadap penduduk dan memperlakukan penduduk asli sebagai budak tanpa rasa perikemanusiaan khususnya di Indonesia. 

Persaingan antara Belanda dan Portugis dalam perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku berakhir ketika Belanda berhasil membangun permukiman tetap dengan mengusir Portugal pada tgl 23 Februari 1605. Secara umum dapatlah dikatakan bahwa Belanda berhasil menggantikan posisi Portugal mendapatkan sumber hasil bumi dari kepulauan Nusantara. Selama dua abad menguasai bumi Indonesia, VOC telah bertindak dan memerintah dengan menggunakan kekuasaan militer menekan dan mengadu-domba kerajaan-kerajaan setempat, memberlakukan hukumnya sendiri di seluruh Indonesia, memiliki pengadilan sendiri dan melakukan perdagangan monopoli yang sangat merugikan rakyat.
Bagi Belanda VOC merupakan kenyataan sejarah yang membanggakan karena memberi nilai tambah yang tidak kecil kepada rakyat Belanda, dan karena alasan itu Kementerian Pendidikan Belanda memprakarsai peringatan dan perayaan 400 tahun VOC secara nasional yang pelaksanaannya dilakukan oleh swasta di seluruh negeri. VOC juga dianggap telah membawa kemakmuran serta kekayaan kultur bagi negara Belanda, bahkan dianggap membawa cakrawala baru karena berhasil “menguasai” kawasan-kawasan dunia baru. VOC dinilai berhasil mendorong berbagai perkembangan kemasyarakatan, dan dengan mengarungi lautan telah memperkaya bangsa Belanda belajar tentang bangsa-bangsa lain. Untuk itu generasi muda Belanda harus mengetahui tentang apa arti dan bagaimana perwujudan VOC sebagai bagian dari karya nyata dan kejayaan bangsa Belanda di masa lalu. Peringatan dan perayaan 400 tahun VOC akan dilakukan di 6 kota dan dipusatkan di Ridderzaal melalui pameran dan penyediaan informasi tentang VOC sepanjang tahun 2002. Pihak Belanda telah melakukan pendekatan kepada pemerintah Afrika Selatan, Sri Lanka dan India agar ikut serta mengambil bagian memperingat dan merayakan 400 tahun VOC. Karena dianggap akan mengandung kepekaan politik, panita VOC tidak mengajak Indonesia, walaupun Belanda menyadari bahwa sebagian besar kegiatan dan keuntungan yang diraup VOC justru berasal dari Indonesia.
Pandangan terhadap peran VOC di Indonesia :




Dr Gerrit Knaap dari KITLV (Belanda), dalam tulisannya berjudul “Dutch Perception of Indonesian History, Anno 2001” dalam sarasehan mengenai sejarah hubungan Indonesia-Belanda di KBRI Den Haag pada bulan Agustus 2001, a.l. mengatakan “Personally, I fully agree to the fact that the VOC in Indonesia was nothing more and nothing less than a colonial state. This was already imminent in the charter by which the VOC was founded in 1602, where it was stipulated by the government that this company not only should be the exclusive Dutch Organization to trade in the area between Cape of Good Hope and Cape Hoorn, but that also possessed the right to wage war, make peace and built fortress in that area. War, peace and fortress are attributes of a state, not of a trader.” Selanjutnya Dr Knaap menambahkan dalam tulisan yang sama bahwa … “the VOC as such is an organization with two faces, that of the merchant and that of the statesman”. Bahkan dia mengkhawatirkan tentang adanya sikap orang-orang di Belanda bahwa seolah-olah VOC hanya melaksanakan perdagangan saja di Indonesia, karena berarti orang-orang tersebut samasekali tidak tahu tentang sejarah yang sebenarnya.

Dr Anhar Gonggong sejarawan Indonesia, dalam kesempatan yang sama, a.l. mengatakan bahwa VOC merupakan simbol dari kehendak Belanda untuk mendapatkan keuntungan ekonomi-perdagangan sekaligus perluasan wilayah kolonialnya. Dr Anhar Gonggong menyitir pendapat Dr Verkuyl yang mengatakan : “Selama pemerintahan VOC, yang merupakan suatu kongsi dagang monopolistis yang dipersenjatai, yang memiliki kedaulatan atas wilayah-wilayah tertentu yang diperolehnya dengan merampas”.Apa yang dilakukan VOC di Indonesia, menurut Dr Anhar Gonggong  merupakan tindakan awal dari kekuatan-kekuatan imperialis-kolonialistik. Dengan perkataan lain merupakan proses awal penancapan kekuasaan kolonialistik yang didorong oleh motif ekonomi-merkantil. Motif ini hanya bisa berhasil kalau didukung oleh pemerintah Belanda dengan memberi bantuan militer.
Sementara ilmuwan Belanda maupun Indonesia cukup banyak yang memiliki kesimpulan sama tentang peran VOC di Indonesia pada abad ke 16 dan 17 yaitu tidak terlepas dari politik kolonialisme Belanda, namun di pihak lain sampai sekarang masih cukup banyak pihak-pihak di Belanda yang beranggapan bahwa kolonialisme Belanda  di Indonesia memiliki misi khusus, yang mereka sebutkan sebagai “misi suci”  a.l. untuk  :
1.      men-civilized-kan orang-orang Indonesia yang masih primitif;
2.      memberi kemakmuran kepada orang-orang Indonesia yang masih terbelakang,
3.      mempersatukan orang-orang Indonesia yang selalu berkelahi antar mereka,
4.      memberi pendidikan dan kemajuan rakyat Indonesia, dan
5.      kedatangan VOC ke Indonesia semata-mata untuk berdagang saja.

Sikap pandang bangsa Indonesia terhadap peringatan 400 tahun VOC

Masalah peringatan maupun perayaan 400 tahun VOC merupakan urusan orang Belanda sendiri dan merupakan haknya untuk memperingatinya dan tidak ada hubungannya dengan kepentingan langsung bangsa Indonesia. Belanda sendiri yang mengakui bahwa peringatan itu mengandung kepekaan politik bagi Indonesia, yang sebenarnya secara eksplisit sebagai suatu pengakuan bahwa kehadiran VOC di Indonesia tidak disukai rakyat Indonesia. Pihak Belanda tidak pernah melakukan pendekatan formal kepada Indonesia untuk ikut memperingati atau merayakan 400 tahun VOC, walaupun berdasarkan informasi ada pihak-pihak swasta di Indonesia yang “bersedia” melakukannya demi aliran bantuan yang diberikan oleh pihak Belanda.

Bangsa Indonesia hendaknya melihat VOC sebagai bagian dari kolonialisme Belanda di Indonesia, dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia secara tegas menentang kolonialisme dalam bentuk apapun. Persoalan yang kita hadapi adalah tentang kewajaran dan kepantasan bagi bangsa Indonesia untuk ikut meramaikan peringatan atau perayaan 400 tahun VOC di bumi Indonesia sendiri, sementara kita tahu dan sadar bahwa kehadiran VOC di Indonesia telah memakan banyak korban harta dan jiwa rakyat Indonesia serta merupakan bagian dari kekuasaan kolonialistik.
Salah satu keberhasilan dan kesuksesan VOC menguasai seluruh wilayah Indonesia adalah melalui kemampuannya memanfaatkan sikap bangsa kita yang mudah diadu-domba karena keragaman etnis, dan juga menggunakan penguasa bangsa Indonesia sendiri untuk menekan rakyatnya. Apakah bangsa kita sekarang ini  masih mau dan bersedia untuk terus dijadikan ajang adu-domba demi membela kepentingan asing, tentunya bangsa kita sendiri yang dapat menjawabnya. Perbedaan intern yang menimbulkan pertentangan bahkan konflik antar kita merupakan kelemahan yang harus kita akui, dan untuk menanggulanginya  hanya dapat oleh kemauan kita sendiri.
Dengan dalih mengapa kita harus menghilangkan kesempatan menikmati bantuan, masih ada orang-orang di Indonesia yang berpendapat bahwa menolak untuk ikut memperingati 400 tahun VOC sebagai tingkah “pahlawan kesiangan” karena persoalan VOC sudah merupakan persoalan masa lalu. Masa lalu memang tidak perlu diungkit kembali apalagi kalau diikuti dengan pembalasan dendam, tetapi penglihatan terhadap masa lalu hendaknya juga tidak menghilangkan perasaan pengorbanan dan penderitaan rakyat terhadap kekuasaan asing yang lalim, seperti perasaan bangsa Belanda terhadap penjajahan Jerman.
Keinginan dan maksud Belanda untuk membangun kembali monumen kehadirannya di Indonesia pada masa-masa lalu tentunya perlu kita sambut, tetapi hendaknya pembangunan tidak dikaitkan dengan peringatan 400 tahun VOC. Keinginan membangun monumen Belanda itupun perwujudannya harus pula berimbang, karena bukan hanya kemegahan gedung secara fisik saja yang harus diperhatikan tetapi juga tempat-tempat dimana pihak Belanda pernah menyiksa bangsa Indonesia perlu dipertontonkan. Hal ini perlu diketahui oleh generasi muda di Indonesia dan Belanda, sebagai suatu pelajaran agar segala macam penindasan  tidak terulang lagi.
Keadaan sudah berubah dan hubungan Indonesia dengan Belanda sudah semakin baik dan bangsa Belanda sudah menjadi sahabat bangsa Indonesia, apalagi masyarakat Belanda telah membantu ketika Indonesia sedang dalam keadaan sulit. Namun tentunya kita tidak perlu meninggalkan prinsip kita sendiri terhadap kolonialisme. Persahabatan adalah persahabatan, sedangkan prinsip adalah tetap prinsip. Kehadiran Belanda di bumi Indonesia adalah suatu kenyataan sejarah, dan sejarah hubungan kedua bangsa dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu yang buruk dan yang baik bagi keduabelah pihak.. Yang buruk harus dijadikan peringatan untuk tidak diulang lagi, sementara yang baik kalau perlu dapat kita sempurnakan. Generasi baru di Indonesia dan Belanda perlu mengerti perjalanan sejarah hubungan kedua bangsa sebagai monumen yang memiliki dua dimensi tersebut, untuk dapat dijadikan pelajaran positif agar tidak terulang kembali peristiwa yang pernah menyakitkan salah satu pihak
*Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda