Sejarah Perlawanan Rakyat Aceh Melawan Belanda,
Pada tanggal 12 Februari 1904 pasukan Belanda telah tiba di daerah
tujuan,yaitu di daerah Gayo Laut, kira-kira 50 kilometer dari Takengon.
Tetapi begitu Belanda menginjakkan kakinya di desa dekat Ketol, disambut
dengan pertempuran sengit yang pertama, dimana pasukan Belanda
mengalami korban, baik mati maupun luka-luka.
Dalam perjalanan
menuju Takengon, pasukan Belanda tidak henti-hentinya mendapat
perlawanan, Sampai mereka berhasil membuat markasnya di desa Kung,
kira-kira 7 kilometer ari Takengon. Dari markas yang baru didirikan ini,
pasukan Belanda melakukan operasi m iliter di sekitar Gayo Laut. Walau
perlawanan pasukan rakyat Gayo cukup sengit, dan hampir setiapdaerah
yang dilalui pasukan Belanda terjadi pertempuran, tetapi akhirnya daerah
Gayo Laut pun jatuh ke tangan pasukan kolonial.
Setelah
pasukan Belanda berhasil menguasai daerah Gayo Laut, operasi militernya
maju menuju Gayo Lues, dimana pada tanggal 9 Maret 1904, pasukannya
telah mencapai daerah Kla, yaitu daerah yang merupakan pintu masuk Gayo
Lues. Berbeda dengan pertempuran di Gayo Laut, di sini rakyat memperkuat
pertahanannya dengan benteng-benteng yang dibangun dari tanah
dicampur
batu-batu. Di sekelilingnya dibuat pagar kayu berduri yang telah dibuat
runcing, dan dilapisi pula dengan tanaman hidup bambu berduri, yang
oleh orang Gayo disebut 'uluh kaweh' yang berlapis-lapis. Kemudian
dipasang pula bambu runcing dan kayu runcing dalam bentuk ranjau-ranjau.
Di bagian dalam benteng dibuat
lobang-lobang perlindungan, lubang pengintaian lubang penembak di
bagian dinding-dinding benteng. Selain itu dibuat pula lubang
perlindungan untuk wanita dan anak-anak di dalam benteng tersebut.
Dengan cara ini, benteng pertahanan rakyat Gayo berusaha menahan
serangan pasukan Belanda yang jauh lebih kuat dan modern.
Salah
satu bukti tentang pertempuran benteng yang dahsyat, yaitu benteng
Gemuyang, setelah berhari-hari bertempur, akhirnya baru jatuh setelah
rakyat Gayo sebanyak 308 orang tewas : antaranya 168 orang laki--laki,
92 orang wanita dan 48 orang anak-anak. Sedangkan korban dari pihak
pasukan Belanda hanya dua orang tewas dan 15 orang luka-luka berat.
Kuta Reh
Pertempuran
di benteng Reket Goib antara pasukan penyerbu dengan pasukan rakyat
Gayo lebih berimbang, sehingga korban yang jatuh di kedua belah pihak
cukup banyak. Di pihak rakyat Gayo telah meninggal dunia sebanyak 148
orang: antaranya 143 orang pria, 41 orang wanita dan anak-anak. Korban
di pihak pasukan Belanda: 7 orang mati, diantaranya 2 orang perwira dan
42 orang luka-luka berat, diantaranya 15 orang perwira.
Pertempuran
dari benteng ke benteng yang tersebar di daerah-daerat Gayo tidak
kurang dari sepuluh buah banyaknya, dengan korban ribuan rakyat Gayo
yang mati terbunuh. Hanya dengan cara itu pasukan Belanda dapat
menaklukkan Gayo.
Setelah daerah Gayo berhasil ditundukkan, maka
pada tanggal 13 Juni 1904 pasukan Belanda melanjutkan serangan ke daerah
Alas, dengan sasaran utamanya desa Batu Mbulen dimana tinggal seorang
ulama besar bernama Teungku Haji Telege Makar dengan pondok pesa
ntrennya. Mendengar kedatangan pasukan
Belanda mau menyerbu kaum muslimin, dengan pimpinan para ulama mereka
mengosongkan desa tersebut dan semuanya berkumpul di
benteng Kute Reh yang telah disiapkan jauh sebelum pasukan musuh datang.
Pertempuran
dahsyat dan bermandikan darah berlangsung berhari-hari antara pasukan
musuh dengan pasukan kaum muslimin di benteng Kute Reh tersebut. Benteng
Kute Reh jatuh ke tangan pasukan Belanda, setelah 561 orang pasukan
yang mempertahankan benteng itu tewas, diantaranya 313 orang pria, 189
orang wanita, dan 59 orang anak-anak. Sedangkan di pihak musuh hanya dua
orang mati dan 17 orang luka-luka berat.
Pada tanggal 20 Juni
1904 pasukan Belanda dibawah pimpinan Van Daalen sendiri melanjutkan
penyerbuannya ke benteng Likat. Pertempuran sengit bermandikan darah
berlangsung dahsyat dan ngeri. Sebab pasukan Belanda main bantai tanpa
pandang bulu, sehingga 432 orang mati terbunuh, diantaranya 220 pria,
124 wanita, dan 88 orang anak-anak. Dipihak pasukan musuh yang mati
hanya seorang dan 18 orang tentara luka-luka, termasuk Letnan Kolonel
Van Daalen dan Kapten Watrin.
Daerah Alas dapat dikuasai pasukan
Belanda setelah jatuhnya benteng Lengat Baru pada tanggal 24 Juli 1904,
dengan korban yang sangat besar di pihak rakyat Alas, di mana 654 orang
tewas, diantaranya 338 orang pria dan 186 wanita serta anak-anak 130
orang.Di pihak musuh hanya 4 orang mati.Keganasan Pasukan Marsose dari yang tergabung prajurit Belanda, Jawa, Menado dan Ambon Yang dipimpin oleh Van Daalen.
Sebagaimana telah terjadi di daerah-daerah lainnya di Aceh, jika pertempuran terbuka telah tidak mungkin dilakukan, karena
kekuatan yang tak seimbang dengan pasukan musuh, maka 'perang gerilya'
merupakan satu-satunya jawaban untuk melumpuhkan pasukan Belanda. Di
Gayo dan Alas pun berlaku hal yang sama. Apalagi daerah Gayo dan Alas
adalah daerah
bergunung-gunung dan berhutan lebat, sehingga 'perang
gerilya' yang dilakukan rakyat Gayo dan Alas sangat menguntungkan. Dan
sebaliknya pasukan Belanda tidak pernah bisa tinggal tenteram di
daerah-daerah yang didudukinya.
Pada bulan Maret 1904 sebuah
kolonne yang terdiri dari enam brigade marsose, yaitu kira-kira 160
orang tentara, masuk ke dalam jebakan pasukan gerilya muslimin yang
berkekuatan sebanyak 300 orang gerilyawan. Dengan gerak cepat dan
ketangkasan yang luar bi asa, pasukan gerilyawan muslimin Aceh ini
menyerang dengan kelewang dan rencong terhadap pasukan marsoseyang
terjebak itu. Seluruh pasukan Belanda sebanyak 160 orang tentara mati
terbunuh, ter-masuk Kapten Campion yang mati karena luka-luka berat.
Pasukan
gerilyawan muslimin Aceh masih terus efektif melakukan
serangan-serangan terhadap pasukan Belanda di daerah-daerah seperti
Lhong, dimana pada tahun 1925 dan tahun 1926 dan kemudian pada tahun
1953 telah berkembang menjadi 'perang terbuka'. Untuk mengatasi kekuatan
gerilyawan muslimin Aceh ini, pemerintah kolonial Belanda mengumpulkan
kembali bekas-bekas pasukan marsose dari seluruh Hindia Belanda.
Operasi-operasi pasukan marsose di sungai atau di darat seringkali
terjebak oleh pasukangerilya-wan muslimin, sehingga dapat dihancurkan
secara total. Bahkan bivak-bivak rahasia pasukan marsose sering diserang
dan dibakar oleh pasukan gerilyawan.
Pada bulan Desember 1909,
Letnan B.J. Schmidt mendapat perintah untuk menyerang pasukan gerilyawan
muslimin Tiro di daerah Tangse. Menurut taksiran, kekuatan pasukan
gerilyawan muslimin Tiro ini berjumlah 250 orang. Dengan menggunakan dua
brigade pasukan marsose, Schmidt secara sistimatis me-nyerang dan
menangkap pasukan gerilyawan muslimin Tiro, di mana pada tahun 1909 dan
1911 dapat dikatakan hampir seluruhnya tertangkap.
Keberhasilan
pasukan Belanda dalam menumpas pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini
karena pengkhianatan orang-orang Aceh sendiri, yaitu para kaum bangsawan
yang menjadi kolaborator Belanda.
Pada bulan Desember 1911,
perwira Marsose dengan pasukannya bernama Nussy menyerang tempat
persembunyian gerilyawan muslimin Tiro yang terakhir, yang tinggal tiga
orang saja lagi. Dalam serangan ini, dua orang dari tiga gerilyawan
muslimin Tiro ini tewas menjadi syuhada, dan ternyata yang seorang itu
bernama Cit Ma'az (Ma'at), adalah keturunan terakhir dari Syeikh Saman,
tokoh utama perang Aceh. Dengan wafatnya Cit Ma'az, yang
baru berusia lima belas tahun, maka berarti tiga generasi Teuku di Tiro di abadikan di dalam Perang Aceh.
Perang
Aceh tidaklah berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914
terentang benang merah sampai tahun 1942, alur perlawanan di bawah
tanah. Perang gerilya, yang pada tahun 1925, tahun 1926, sampai tahun
1933 berkembang menjadi perlawanan terbuka lagi.
Dengan demikian
perang Aceh berlangsung mulai sejak tahun 1873, terus sambung-menyambung
sampai tahun 1942, dimana Belanda angkat kaki untuk selama-lamanya,
adalah perang terlama di dalam sejarah perang kolonial Belanda di
Indonesia.
No comments:
Post a Comment