Sunday, January 7, 2018

DINASTI ABBASIYAH


Gambar 1. Peta Abbasid Callphate
Dinasti Abbasiyah didirikan secara revolusioner dengan menggulingkan Dinasti Umayyah. Berdirinya kekuasaan Dinasti Abbasiyah membawa beberapa perubahan sosial politik. Perubahan yang menonjol adalah tampilnya kelompok mawalli khususnya di Persia dan Iraq. Mereka menduduki peran dan pososi penting dalam pemerintahan menggantikan kedudukan bangsawan Arab. Masyarakat Khurasan yang bukan keturunan Arab mendudukung kekuasaan Dinasti Abbasiyah meskipun pucuk pimpinan tertinggi dikuasai oleh keturunan Arab Hasyimiyah. Kelompok mawalli diberi kesepakatan dan peran-peran strategis dalam pemerintahan dalam bidang administrasi, peradilan, perekonomian dan lain-lain. Dinasti ini mengembangkan pola penyatuan antara suku bangsa Arab dan non Arab dalam upaya mendukung Dinasti Abbasiyah.
Pemerintahan Abbasiyah sangat dominan dengan orang Persia. Orang Khurasan banyak yang menjadi pegawai pemerintahan, sedangkan orang-orang menduduki pos-pos penting dalam sistem pemerintahan. Tradisi Persia diadopsi secara utuh ke dalam perilaku keseharian pada masa Dinasti Abbasiyah, seperti gelar kebangsawanan, nyanyian tradisi pergundikan dan keilmuan Persia. Hanya dalam dua hal bangsa Arab dapat mempertahankan tradisinya, yaitu Islam tetap menjadi agama resmi Negara dan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi Negara.
Adapun dalam makalah ini akan dibahas secara singkat tentang kelahiran Dinasti Abbasiyah, para penguasa dan kebijakannya, masa kejayaan, faktor-faktor yang menebabkan kemunduran dan akhir kekuasaan Dinasti Abbasiyah.




MASA ABBASIYAH

  1. Kelahiran Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 133 H/750 M oleh Abul Abbas Ash-Shaffah, dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu selama lima abad dari tahun 133-656 H/750-1258 M).[1]


Gambar 2. Dinasti Abbasiyah
Selama Dinasti Abbasiyah berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah dalam lima periode berikut.[2]
  1. Periode Pertama (232-232 H/750-847), disebut periode pengaruh Persia pertama.
  2. Periode Kedua (232-334 H/847-945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
  3. Periode Ketiga (334-447 H/945-1055 M), masa kekuasaan Dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
  4. Periode Keempat (447-590 H/1055-1194 M), masa kekuasaan Dinasti Saljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut jug dengan masa pengaruh Turki kedua.
  5. Periode kelima (590-656 H/1194-1258 M), masa khalifah bebas dari pengruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitarkota Baghdad.

  1. Para Penguasa Dinasti Abbasiyah dan Kebijakannya
1.      Abul Abbas as-Saffah (133-137 H/750-754 M)
Abul Abbas as-Saffah dinobatkan sebagai raja pertama Dinasti Abbasiyah oleh pengikutnya pada tahun 133 H/750 M di sebuah mesjid kufah[3]. Tindakan pertama yang tempuhnya adalah menyapu bersih keturunan dinasti Umayyah sampai ke anak cucu, bahkan orang yang telah meninggalkan masih dianiaya. Agen-agen rahasia disebar ke seluruh penjuru negeri untuk memburu keturunan Umayyah yang masih hidup. Di samping itu, ia membongkar kuburan keturunan Umayyah lalu membakar jenazahnya hingga menjadi abu. Dengan melakukan itu, ia benar-benar bisa membuktikan dirinya sebagai si penumpah darah atau si haus darah yaitu as-saffah. Seluruh keturunan Umayyah dibunuhnya, kecuali yang melarikan diri yaitu Abdur Rahman cucu Hisyam. Ia menyelamatkan diri ke Spanyol dan disana akhirnya ia berhasil mendirikan kerajaan Bani Umayyah di Spanyol. Kekejamannya ini menimbulkan pengaruh besar bagi Abul Abbas sehingga otoritasnya sebagai khalifah diakui sepanjang wilayah Asia, Mesir dan Afrika Utara.
Abul Abbas hanya sempat memerintah selama lima tahun. Ia meninggal akibat penyakit cacar yang dideritanya pada tahun 133 H/754 M di istana Ambariyah. Sebelum meninggal ia telah menunjuk penggantinya sebagai khalifah yaitu saudaranya sendiri yang bernama Abu Ja’far.

2.      Abu Ja’far al-Manshur (137-159 H/754-775 M)
Setelah Abdul Abbas wafat, Abu Ja’far dinobatkan sebagai khalifah dengan gelar al-Manshur (kemenangan). Al-Manshur dan beberapa khalifah Abbasiyah pertama merupakan penguasa yang memiliki kemampuan dan kecakapan yang luar biasa mencurahkan segala waktu, tenaga dan pikirannya demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Amir Ali menulis bahwa beberapa penguasa pertama Abbasiyah berusaha keras membangun kota-kota baru, membuat jalan, menggali terusan dan sumber-sumber mata air, mendirikan yayasan wakaf, lembaga pendidikan dan memprakarsai kemajuan perdagangan , seni dan ilmu pengetahuan.
Tak lama setelah al-Manshur menjadi khalifah Abbasiyah yang kedua, terjadi beberapa pemberontakan yang mengancam stabilitas keamanan negeri yaitu sebagai berikut:
a.       Pemberontakan yang dipimpin oleh Abdullah Ibn Ali (paman al-Manshur), gubernur Syiria.
b.      Pemberontakan Sekte Rawandiyah yaitu sekte Persia yang sesat.
c.       Pemberontak gubernur Khurasan yang dapat ditumpas oleh Ibn Khuzaima dan putranya yang bernama al-Mahdi.
d.      Pemberontakan penduduk Tabaristan dan Dailam yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Abbasiyah.
e.       Pemberontakan masyarakat Madinah yang dipimpin oleh dua tokoh keturunan Husain yaitu Muhammad dan Ibrahim.





Inilah beberapa pemberontak pertama sejak masa awal pemerintahan al-Manshur. Semua pemberontakan di atas dapat diatasi oleh al-Manshur. Setelah berhasil mengamankan situasi politik dalam negeri, ia merencanakan pembangu-nan kota Baghdad. Al-Manshur memulai pembangunannya pada tahun 145 H/762 M dan merampungkannya selama empat tahun. Baghdad menjadi ibukota kekua-saan Abbasiyah dan merupakan kota paling megah pada abad pertengahan. Kota ini terletak di tepi Barat Pantai Tigris, berbentuk bundar dan dikelilingi dinding berlapis. Di tengah-tengah kota didirikan istana dan masjid agung di sebelahnya.
Pada masa al-Manshur berbagai disiplin ilmu seperti kepustakaan, sejarah, kedokteran dan khususnya astronomi dipelajari dan berkembang dengan pesat. Ia menetapkan beberapa petunjuk teknis gerakan penerjemahan buku-buku seni dan ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa asing. Al-Manshur memerintah selama 22 tahun dan menjadi pendiri dinasti Abbasiyah yang sesungguhnya.

3.      Al-Mahdi (159-169 H/775-785 M)
Al-Mahdi menggantikan kedudukan ayahnya, al-Manshur, pada tahun 159 H/775 M. Ia merupakan penguasa yang lemah lembut dan dermawan. Ia melaku-kan beberapa kebijakan yang agak kontras dengan kebijakan ayahnya yaitu sebagai berikut:
1.      Al-Mahdi memulai masa pemerintahannya dengan membebaskan seluruh taha-nan, penjahat kejam sekalipun yang dipenjarai oleh ayahnya.
2.      Kekayaan peninggalan ayahnya yang melimpah dimanfaatkan untuk melakukan program-program pembangunan yang besar. Ia memperluas dan menghiasi mesjid-mesjid di kota suci Islam dan membangun ibukota kerajaan menjadi sangat megah. Di masa pemerintahannya Baghdad merupakan pusat perdagan-gan luar negeri yang mempunyai jaringan per-dagangan ke seluruh dunia. Per-tanian dan perdagangan berkembang dengan baik. Masa pemerintahannya meru-pakan era kemakmuran.
3.      Masa pemerintahannya mengalami kemajuan dalam bidang musik, sastra dan filsafat.
4.      Ketika ia menunaikan ibadah haji ke Mekkah ia membagi-bagikan pakaian dan hadiah besar kepada masyarakat miskin Mekkah. Ia menetapkan dana santunan bagi masyarakat miskin.
5.      Membangun sejumlah jalan yang dilengkapi dengan sumber mata air dan tempat berteduh untuk memberi kenyamanan pelaksanaan ibadah haji.
6.      Ia berusaha mengembalikan nama baik dan martabat keluarga Ali yang sebelum-nya diperlakukan secara tidak wajar.
7.      Memberantas dan menangkap pimpinan aliran sesat yang muncul pada masa itu.

Ketika pasukan Romawi menyerbu wilayah perbatasan Muslim pada tahun 163 M. Al-Mahdi bersama putranya Harun berhasil mempertahankan wilayah tersebut. Atas kecakapan Harun ia mengangkatnya menjadi gubernur di seluruh wilayah barat termasuk Azerbaijan dan Armenia.


4.      Musa Al-Hadi (169-170 H/785-786 M)
Sepeninggal al-Mahdi kekuasaan Abbasiyah dijabat oleh putra tertuanya yaitu Musa al-Hadi. Walaupun Harun memberikan dukungan sepenuhnya kepada Musa al-Hadi. Namun Musa mengkhawatirkan Harun akan mengancam posisinya sebagai khalifah. Oleh karena itu, ia memindahkan hak pengganti khalifah kepada putranya yang bernama Ja’far. Untuk tujuan ini Musa memenjarakan penasehat utama Harun yaitu Yahya Ibn Khalid al-Barmaki dan beberapa pendukung Harun lainnya. Sejak saat itu kalangan istana terbagi menjadi dua kubu yaitu kubu yang memihak Musa dan Kubu Harun. Ketika konflik semakin kritis, Harun mening-galkan istana demi menyelamatkan diri dari ancaman Musa.
Musa al-Hadi meninggal dunia setelah memerintah selama dua tahun. Mulai masa pemetintahannya pengaruh Persia berkembang pesat. Perayaan tahun baru dan hari-hari besar lainnya diselenggarakan dengan ragam busana Persia.

5.      Harun Al-Rasyid (170-194 H/786-809 M)
Sesuai dengan amanat al-Mahdi, Harun al-Rasyid segera menduduki tahta kekuasaan Abbasiyah setelah meninggal saudaranya Musa al-Hadi. Saat dinobat-kan menjadi khalifah ia berusia 25 tahun dan menjabat kekuasaan selama 23 tahun. Masa pemerintahannya berhasil membawa kekuasaan Abbasiyah ke puncak kemajuan yang gemilang. Buku cerita yang berjudul kisah seribu satu malam merupakan bukti masa kejayaan bangsa Arab yang senantiasa dikaitkan dengan masa pemerintahan Harun al-Rasyid.
Beberapa kebijakan yang ditempuhnya adalah sebagai berikut:
a.       Ia melantik seorang penasehat pribadi yang bernama Yahya Ibn Khalid al-Barmaki menjadi perdana menteri (wazir) dan sekaligus mengangkat dua orang putra Yahya menjadi pejabat tinggi Harun. Keberhasilan Harun tidak terlepas dari jasa dan pengabdian keluarga Bermak ini.
b.      Mengatasi beberapa pemberontakan. Pertama, pemberontakan Yahya Ibn Abdullah, cabang keturunan Ali, yang mengklaim dirinya sebagai khali-fah. Pemberontakan suku Khazars di Armenia. Kedua, peperangan dengan kaisar Nicephorus yang menguasai Konstantinpel. Ketiga, adanya pembe-rontakan Khawarij di Mosul dan Arnemia. Namun semua pemberontakan tersebut dapat diatasi dengan cepat.
c.       Mendirikan rumah sakit, sekolah, perguruan tinggi, mesjid, jalan, irigasi dan menetapkan tunjangan fakir miskin. Kemajuan ilmu pengetahuan, bidang tulis menulis dan penerjemahan sangat menonjol selama masa pemerintahannya sehingga ia mendirikan lembaga penerjemahan yang menerjemahkan berbagai ilmu pengetahuan kedalam Bahasa Arab.
d.      Mengusahakan industri kertas sebagaimana yang telah dibuat oleh bangsa Cina.
e.       Atas pengaruh istrinya yang bernama Zubaidah, ia menunjuk tiga anaknya sekaligus penggantinya kelak secara berurutan yaitu al-Amin, al-Makmun dan al-Mu’tashim.

6.      Al-Amin (194-198 H/809-813 M)
Setelah harun al-Rasyid meninggal dunia, anak tertuanya al-Amin menggantikan kedudukannya sebagai khalifah. Al-Amin adalah pemuda yang suka kemegahan dan kesenangan dunia. Ia menyerahkan urusan pemerintah kepada perdana menterinya yaitu Fazl Ibn Rabi’.
Masa pemerintahan al-Amin diwarnai kemunduran dan kekacauan. Peme-rintahannya hanya berlangsung selama kurang dari empat tahun.

8.      Al-Makmun (198-218 H / 813-833 M)
Setelah menang dalam perang saudara al-Makmun menduduki kekuasaan Abbasiyah. Namun ia tidak langsung tinggal di istana melainkan ia tetap mendalami kajian filsafat di Merv. Oleh karena itu menyerahkan kekuasaan pada wakilnya Fadl Ibn Sahal.
Ketidakhadirannya di Baghdad ternyata berakibat fatal dengan munculnya beberapa pemberontakan, terutama di Irak dan Persia. Di antaranya dipimpin oleh Nasir Ibn Sabath, seorang keturunan Umayyah yang membalas dendam atas kehancuran keluarganya. Selain itu pemberontakan oleh Ibn Tabattaba bersama sekutunya Abu Soraya berhasil mengalahkan pasukan kerajaan. Setelah membunuh Ibn Tabattaba kedudukan Abu Soraya semakin kuat sehingga ia berhasil menguasai Kufah, Basrah, Wasit dan Madain. Makkah, Madinah dan Yaman juga dikuasainya lalu dikuasakan kepada keturunan Ali lainnya. Ketika ia hendak melancarkan serangan ke Baghdad ia dihadang oleh pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Hartama Ibn Ayyan sehingga seluruh wilayah Irak dapat menjadi aman kembali di bawah kekuasaan Abbasiyah. Akhirnya al-Makmun berhasil memulihkan keamanan kota Bagdad setelah berhasil melemahkan gerakan pengacau keamanan.
Al-Makmun dinilai sebagai penguasa yang bijaksana, semangat berkarya, pengampun, adil, cerdas dan berpikir bebas. Masa pemerintahannya merupakan periode kemajuan yang terhebat dalam sejarah Islam. Selama 21 tahun ia memerintah telah meninggalkan kemajuan intelektual Islam yang sangat berharga dalam berbagai bidang pemikiran. Matematika, astronomi, dan filsafat mencapai kemajuan yang gemilang. Menurutnya kemajuan rakyat sangat tergantung terhadap pendidikan dan peradaban. Untuk itu ia mendirikan sekolah dan perguruan tinggi di berbagai penjuru.
Pada tahun 212 H/827 M ia mengumumkan paham muktazilah sebagai paham resmi Negara sedangkan paham ortodok dianggap paham bid’ah. Pada tahun 218 H/833 M keluar sebuah dekrit yang memerintahkan agar hakim dan ulama meninggalkan ketidakbenaran paham “keabadian al-Qur’an.” Imam Ahmad Ibn Hanbal menjadi korban dari penetapan dekrit tersebut. Beliau memper-tahankan keyakinan bahwa al-Qur’an itu qadim sehingga beliau dipenjara dan dihukum cambuk. Dua penguasa pengganti al-Makmun tetap memberlakukan dekrit ini.
Dalam menjalankan program pendidikan al-Makmun mendatangkan para ilmuan dalam berbagai bidang untuk berkarya di istana Bagdad. Para ilmuan ini berasal dari berbagai penjuru, baik yang berasal dari Timur maupun Barat, Muslim dan Non Muslim. Beberapa ilmuan yang berkarya pada masa ini adalah al-Bukhari (ahli hadits), al-Wakidi (ahli sejarah), costa, putra Luke (sebagai penerjemah dari bahasa Yunani dan Syiria), Yahya Ibn Harun (penerjemah bahasa Persia), Pendeta Duban (penerjemah bahasa sansekerta), Abu Hasan (penemu teleskop tabung), Abbas (penyair yang menciptakan aliran modern puisi Persia) dan al-Kindi.

8.      Al-Mu’tashim (833-845 M)
Ketika al-Makmun dalam keadaan sakit, al-Mu’tashim melancarkan propa-ganda yang mengklaim dirinya sebagai khalifah sehingga setelah al-Makmun meninggal dunia ia segera menduduki tahta kerajaan Abbasiyah. Sebagian tentara tidak menghendaki al-Mu’tashim tetapi mereka lebih men-dukung Abbas, putra al-Makmun, menggantikan kedudukan ayahnya. Lalu al-Mu’tashim segera membentuk pasukan keamanan pengawal raja yang terdiri dari budak-budak Turki. Kebijakan ini akhirnya membawa pengaruh yang fatal terhadap khalifah Abbasiyah. Kedudukan militer tertinggi dijabat oleh mereka sehingga unsur Arab semakin terdesak. Perwira-perwira Turki menentukan peran dalam mengangkat dan menghentikan raja-raja sesuai dengan kecenderungan mereka. Mereka menjadi sumber terror bagi rakyat terutama bagi perempuan dan anak kecil.
Untuk mengamankan rakyat di kota Bagdad, pada tahun 836 M, al-Mu’tashim memindahkan ibukota kerajaan ke Samarra sekitar 95 km dari arah hulu sungai Tigris. Dan kota ini ia membangun istana dan perkampungan untuk 250.000 orang tentara. Samarra akhirnya dapat menjadi kota megah seperti Bagdad.
Pada masa pemerintahan al-Mu’tashim terjadi lagi beberapa pemberon-takan seperti:
1. Pemberontakan kaum Zatt yaitu keturunan India yang berimigrasi ke Persia.
2. Pemberontak kaum Babek di Azarbaijan.
3. Penyerbuan wilayah perbatasan Muslim yang dilakukan oleh tentara Bizantine dan membunuh ratusan Muslim dan kota Zibrata dihanguskan.
4. Pemberontak oleh Maziar di Tabaristan.
Meskipun semua gerakan pemberontakan berhasil ditekan oleh Mu’tashim namun kondisi ini menjadi indikator bahwa al-Mu’tashim merupakan raja Abbasiyah yang telah membawa dinastinya ke ambang kemunduran.

9.      Al-Watsiq (223-228 H/842-847 M)
Setelah al-Mu’tashim meniggal dunia kekhalifahan Abbasiyah dijabat oleh putranya al-Watsiq. Ia merupakan penguasa yang cakap. Bangsa Turki, Arab dan Persia turun berperan pada masa pemerintahannya. Ia mahir dalam bidang seni dan kepustakaan. Perdagangan dan perindustrian mengalami kemajuan yang pesat. Di akhir masa pemerintahannya terjadi pertukaran tawanan perang antara pihak khalifah dengan pihak Kaisar Yunani. Kelebihan yang dimiliki al-Watsiq selama enam tahun pemerintahannya adalah ia sangat ramah dan dermawan terhadap masyarakat miskin terutama masyarakat yang berada di dua kota suci Makkah dan Madinah.

10.  Al-Mutawakkil (233-297 H/847-861 M)
Al-Watsiq meninggal tanpa menunjuk siapa penggantinya. Lalu hakim agung, para wazir dan mayoritas kalangan istana mendukung pengangkatan putra al-Watsiq yang bernama Muhammad sebagai pengganti ayahnya sekalipun masih kecil. Akan tetapi dua perwira Turki yang bernama Wassif dan Itakh menolak kesepakatan mayoritas, keduanya menghendaki saudara al-Watsiq yang bernama Ja’far manjadi khalifah. Ja’far akhirya naik tanta dan bergelar al-Mutawakkil.
            Tindakan pertama yang ditempuhnya adalah memecat dan menghukum orang-orang yang tidak mendukung pengangkatan dirinya sebagai khalifah. Aliran rasionalisme dilarang dan ia memebebaskan Ahmad Ibn Hanbal dari penjara. Ia tidak toleran terhadap kelompok Syiah. Ia merobohkan bangunan makam Husain Ibn Ali dan makam-makam disekelilingnya dan melarang keras berziarah ke makam tersebut. Kebun Fedak milik keluarga Ali disita kembali oleh al-Mutawakkil. Sikap-sikapnya yang semberono ini mengandung aksi protes dan pemberontak.
Tindakan al-Mutawakkil yang kejam ini turut melatarbelakangi pem-bunuhan dirinya yang dilakukan oleh pengawal pribadinya yang berasal dari keturunan Turki. Masa pemerintahannya selama 15 tahun merupakan masa disintegrasi yang menandai awal runtuhnya imperium Abbasiyah. Sepeninggal-nya, imperium Abbasiyah mengalami kemunduran secara drastis. Tahta khalifah kemudian dijabat oleh para penguasa yang tidak cakap sehingga kondisi politik yang semakin kritis tidak dapat diselamatkan bahkan keberadaan mereka seperti penguasa boneka yang kurang berpengaruh. Pada sisi lain munculnya gerakan keturunan Turki semakin mempercepat runtuhnya dinasti ini. Pada masa disintegrasi ini, politik dan kekuasaan Islam terpecah menjadi sejumlah dinasti-dinasti kecil yang independen.
            Sepeninggal al-Mutawakkil kekuasaan Abbasiyah dijabat oleh sejumlah raja yang tidak cakap dan masa pemerintahannya yang tidak lama. Raja-raja pengganti al-Mutawakkil adalah sebagai berikut:
a.       Al-Muntashir. Ia punya karakter yang mulia tetapi ia seperti boneka karena seluruh kebijakan politik berada di tangan perdana menteri yang bernama Ahmad Ibn Khasib. Ia hanya menjabat enam bulan.
b.      Musta’in, salah seorang cucu al-Mutawakkil yang dilantik oleh pejabat-pejabat tinggi Turki dan sama sekali tidak mempunyai otoritas. Pada masa ini pasukan Romawi berhasil merebut Asia kecil. Merasa tidak aman maka khalifah lari ke Bagdad.
c.       Setelah itu, pejabat-pejabat Turki mengangkat al-Mu’taz, salah seorang putra al-Mutawakkil. Tidak lama kemudian Mu’taz pun dipecat sebagai khalifah.
d.      Lalu diangkatnya al-Muhtadi. Ia berusaha membuktikan dirinya sebagai penguasa yang adil dan cakap. Namun setelah terjadi konflik kecil orang-orang Turki memaksanya turun dari jabatan.
e.       Lalu al-Mu’tamid, anak sulung al-Mutawakkil, dipaksa menduduki jabatan khalifah. Ia adalah khalifah yang lemah dan menyukai hidup hura-hura. Pada masa ini terjadi beberapa peristiwa yaitu:
1) Pemberontakan Saffariyah.
2) Pembentukan dinasti Samaniyah secara independen.
3) Gerakan budak-budak kulit hitam di Provinsi Basrah di pimpin oleh Ali     Muhammad.
4) Di bagian Barat, Ahmad Ibn Thulun melepas ikatan dengan pemerintah Abbasiyah sekaligus mengumumkan berdirinya dinasti Thuluniyah di Mesir.
f.       Mu’tazid, putra Muwaffiq. Ia merupakan penguasa yang cakap dan berwibawa. Pada masa ini kelompok caramithah pimpinan Abu Sa’ad al-Jannabi yang muncul masa al-Mu’tamid semakin kuat dan mendirikan dinasti mereka di Bahrain pada tahun 288 H/ 900 M. Beberapa tahun kemudian tokoh Caramithah berkuasa di Afrika dengan mendirikan dinasti Fathimiyah ibukota Kairowan. Mu’tazid meninggal pada tahun 902 M dan kedudukannya diganti oleh putranya yang bernama al-Muktafi.
g.     Al-Muktafi merupakan penguasa yang adil dan ramah. Selama enam tahun pemerintahannya ia terus-menerus terlibat pertempuran melawan Caramithah di Syiria. Ia berhasil mengusir pasukan Romawi dari Mesir.
h.     Sepeninggal al-Muktafi tahta kekhalifahan Abbasiyah dijabat oleh saudaranya yang bernama al-Muqtadir. Ketika menjabat ia masih berumur 13 tahun. Masa pemerintahannya diwarnai dengan pemberontakan sehingga selama 24 tahun ia memerintah tidak satu pun membawa kemajuan, bahkan dinasti Abbasiyah semakin mendekati kehancuran berdirinya dinasti Fathimiyah di wilayah Barat.
i.        Setelah al-Muqtadir meninggal dunia, jabatan khalifah diduduki oleh putra al-Mu’tazid yang bergelar al-Qahir.
j.       Lalu digantikan oleh al-Radhi, putra al-Muqtadir. Ia mendirikan badan Amir al-Umara’.
k.     Sepeninggal al-Radhi, al-Muttaqi naik tahta. Ia juga merupakan putra dari al-Muqtadir. Bajkam yang menjabat sebagai Amir al-Umara’ meninggal dan Baghdad dilanda kekacauan politik. Keturunan Turki yang bernama Tauzan menurunkan al-Muttaqi dari jabatan khalifah.
l.       Lalu Tauzan mengangkat al-Mustakfi sebagai khalifah.

C.     Masa Kejayaan Dinasti Abbasiyah
            Pada periode pertama pemerintahan Dinasti Abbasiyah mencapai masa keemasan. Secara politis para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik sekaligus agama. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetauan dalam Islam.
            Puncak kejayaan Dinasti Abbasiyah terjadi pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid dan anaknya al-Makmun. Ketika ar-Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin walaupun ada juga pemberontakan, dan luas wilayahnya mulai dari Afrika Utara hingga ke India.
            Pada masanya hidup pula para filsuf, pujangga, Ahli baca Al-Qur’an dan para ulama di bidang agama, didirikan perpustakaan yang diberi nama Baitul Hikmah, di dalamnya orang-orang dapat menulis, membaca dan berdiskusi.
            Pada masanya berkembang ilmu pengetahuan agama seperti ilmu Al-Qur’an, qira’at, hadits, fiqh, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Empat madzhab fiqh tumbuh dan berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah. Di samping itu, berkembang pula ilmu filsafat, logika, matematika, ilmu kalam, geografi, aljabar, aritmatika, mekanika, astronomi, musik, kedokteran dan kimia.

D.    Faktor-faktor yang Menyebabkan Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Kebesaran, keagungan, kemegahan, dan gemerlapnya Baghdad sebagai pusat pemerintahan dinasti Abbasiyah seolah-olah hanyut dibawa sungai Tigris, setelah kota itu dibumihanguskan oleh tentara Mongol di bawah Hulagu Khan pada tahun 1258 M. Semua bangunan kota termasuk istana emas tersebut dihancurkan pasukan Mongol, merun-tuhkan perpustakaan yang merupakan gedung ilmu, dan membakar buku-buku yang ada didalamnya. Pada tahun 1400 M, kota ini diserang oleh pasukan Timur Lenk, dan pada tahun 1508 M oleh tentara Kerajaan Safawi.
            Menurut W. Montgomery Watt,[4] bahwa beberapa faktor yang menyebab-kan kemunduran pada masa daulah Bani Abbasiyah adalah yaitu:
1.      Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintah sangat rendah.
2.      Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3.      Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Sedangkan menurut Dr. Badri Yatim, M.A.,[5] di antara hal yang menyebabkan ke-munduran daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut:
1.      Persaingan Antarbangsa
Khalifah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golo-ngan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah Dinasti Abbasiyah berdiri, Bani Abbasiyah tetap mempertahankan persekutuan itu. Pada masa ini persaingan antarbangsa menjadi pemicu untuk saling berkuasa. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi ke-kuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah sendiri.
2.      Kemorosotan Ekonomi
Khalifah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran dibidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan pemerintah yang kaya. Dana yang masuk lebih besar daripada yang keluar, sehingga baitul mal penuh dengan harta. Setelah khalifah mengalami periode kemunduran, pendapatan negara menurun dan dengan kemudian terjadi kemerosotan dalam bidang ekonomi.
3.      Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan terkait erat dengan persoalan bangsa. Pada periode Abbasiyah, konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra sehingga meng-akibatkan terjadi perpecahan. Berbagai aliran keagamaan seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Ahlus Sunnah dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan peme-rintahan Abbasiyah mengalami kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.
4.      Perang Salib
Perang Salib merupakan sebab dari eksternal umat Islam. Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang banyak menelan korban. Konsentrasi dan perhatian pemerintaDhan Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara salib sehingga memunculkan kelemahan-kelemahan.
5.      Serangan bangsa Mongol (1258 M).
Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam menyebabkan kekuatan Islam menjadi lemah, apalagi serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang biadab menyebabkan kekuatan Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerahkan kepada kekuatan Mongol.

C. Akhir Kekuasaan Dinasti Abbasiyah
            Akhir dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah ialah ketika Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan, 656 H/ 1258 M. Hulagu Khan adalah seorang saudara Kubilay Khan yang berkuasa di Cina hingga ke Asia Tenggara, dan saudara Mongke Khan yang menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-wilayah sebelah Barat dari Cina ke pangkuannya. Baghdad dibumihanguskan dan diratakan dengan tanah. Khalifah Bani Abbasiyah yang terakhir dengan keluarganya, Al-Mu’tashim Billah dibunuh, buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar dan dibuang ke sungai Tigris sehingga berubahlah warna air sungai yang jernih bersih menjadi hitam kelam karena lunturan tinta yang ada pada buku-buku itu.
            Dengan demikian, lenyaplah Dinasti Abbasiyah yang telah memainkan peran penting dalam percaturan kebudayaan dan peradaban Islam dengan gemilang.



           
            Setiap dinasti atau rezim mengalami fase-fase yang dikaenal dengan fase pendirian, fase pembangunan dan kemajuan, fase kemunduran dan keruntuhan. Akan tetapi, durasi dari masing-masing fase itu berbeda karena bergantung pada kemampuan penyelenggara pemerintahan yang bersangkutan.
            Dinasti Abbasiyah dengan ibukotanya Baghdad sangat maju sebagai pusat kota peradaban dan pusat ilmu pengetahuan berkuasa selama lebih kurang lima abad. Dalam rentang waktu itu banyak kemajuan yang dicapai, di antaranya dalam bidang agama seperti ulumul Qur’an, ilmu tafsir, hadits, ilmu kalam, bahasa dan fiqh. Sementara dalam bidang umum seperti filsafat, logika, matematika, ilmu alam, geometri, aljabar, aritmetika, mekanika, astronomi musik, kedokteran, kimia, sejarah dan sastra.
            Demikianlah kemajuan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik  berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan sehinggaIslam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah periode pertama. Namun sayang, setelah periode ini berakhir, Islam mengalami masa kemunduran.




Badri, Sejarah Peradaban Islam, Cet. 16, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,        2004)
Samsul Munir Amin, Sejarah Peredaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010)
Munawiyah, dkk, Sejarah Perdaban Islam, (Banda Aceh: Bandar Publishing,        2009)





[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peredaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 138
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Cet. 16, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 49-50
[3] Munawiyah, dkk, Sejarah Perdaban Islam, (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2009), hal. 115
[4] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban…. hal. 155
[5] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban…. hal. 155-156





No comments: