Dalam pekan ini kita memperingati satu abad Bung Hatta. Peringatan ini
mengingatkan kita akan jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan
Indonesia-sebagai proklamator kepribadiannya yg sederhana ditambah
kepeduliannya akan ekonomi kerakyatan. Namun ada “dosa politik” yg telah
dibuat bung Hatta berkenaan dgn pencoretan tujuh kata dari Pembukaan
UUD 1945. Dua bulan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia Mei 1945
para founding father negeri ini telah menyadari dekatnya
kemerdekaan Indonesia sehingga mereka membentuk suatu badan yg bertugas
mempersiapkan perangkat-perangkat yg dibutuhkan utk berdirinya sebuah
negara yg berdaulat. Akhirnya dibentuklah suatu badan yg bernama BPUPKI
pada tanggal 28 Mei dgn beranggotakan 62 orang yg diketuai oleh Dr.
Radjiman Wediodiningrat. Pada sidang pertamanya tanggal 29 Mei 1945 Dr.
Radjiman mengajukan satu pertanyaan penting yg merupakan tugas
dibentuknya Badan tersebut Apa dasar dari negara yg akan kita bentuk?
Dalam sidang BPUPKI ini terdapat perbedaan tajam di antara dua kubu kubu
Islam-yang merupakan kubu terbesar dgn 35 orang anggota-yang
menghendaki dasar negara ini berdasarkan Islam dan kubu sekuler yg tidak
menghendaki peran agama dalam negara. Perdebatan panjang itu tidak
terselesaikan sampai tanggal 1 Juni. Setelah pidato bung Karno selama
satu jam dgn dipenuhi rayuan kepada para tokoh di kubu Islam agar mau
berkorban utk melakukan “kompromi politik” dibentuklah sebuah panitia
kecil beranggotakan sembilan orang Ir. Soekarno Dr. Mohammad Hatta Mr
Ahmad Soebardjo Abikusno Tjokrosujoso Prof. Abdul Kahar Muzakir KH.
Wahid Hasyim Mr. A.A. Maramis H. Agus Salim Mr. Muhammad Yamin. Pada
tanggal 22 Juni 1945 akhirnya panitia ini berhasil merumuskan suatu
konsensus politik yg mencerminkan dan mewadahi aspirasi semua golongan.
Konsensus para founding father tesebut kini kita kenal dgn nama Piagam Jakarta atau seperti kata Mr. Muhammad Yamin “Jakarta Charter“. Prof. Dr. Soepomo meyebutnya dgn “perjanjian luhur” sedangkan Dr. Sukiman menyebutnya dgn “Gentlemen Agreement“.
Piagam Jakarta inilah yg seharusnya dibacakan pada saat proklamasi
kemerdekaan Indonesia sebagaimana diceritakan oleh Mr Soebardjo “Suatu
kenyataan ialah bahwa teks dari proklamasi telah dirumuskan dalam apa yg
dinamakan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Rumusan ini hasil dari
pertimbangan-pertimbangan mengenai kata Pembukaan atau Bab Pengantar
dari undang-undang dasar kita oleh sembilan anggota komite di mana
Soekarno sebagai ketuanya.” . Sehari setelah Proklamasi kemerdekaan
Indonesia terjadi sebuah pengkhianatan kaum sekuler terhadap konsensus
yg telah dibuat dgn susah payah. Salah seorang pembantu Laksamana Maeda
memberitahukan Bung Hatta akan kedatangan seorang Opsir Jepang-yang
sampai sekarang tidak diketahui identitasnya.
Opsir tersebut
menyampaikan “ancaman memisahkan diri” dari salah seorang tokoh Kristen
Indonesia Timur yg belakangan diketahui namanya Sam Ratulangi seperti
dijelaskan oleh Cornell University seorang tokoh Politik Kristen Licik
dari Minahasa. Meminjam istilah Prof. Kahar Muzakir salah seorang
perumus Piagam Jakarta yg kecewa “Apa lacur 18 Agustus”. Dalam tempo yg
singkat sekitar lima belas menit saja pada tanggal 18 Agustus 1945
sebuah kontrak sosial dan moral hasil perjuangan para perumus BPUPKI
dicoret begitu saja. Setelah 57 tahun kita merdeka permasalahan krusial
dasar negara ini belum selesai sehingga kita belum mampu melakukakan
apa-apa utk membangun yg lainnya krn memang dasar yg dibangun dgn
kesepakatan telah dikhianati dan diganti dgn dasar kesepakatan semu yg
rapuh. Berbeda dgn Malaysia yg membangun dasar negaranya dgn Islam dan
non muslim yg mencapai kurang lbh 40 % penduduk menerimanya dgn lapang
dada tanpa rasa curiga. Mereka mendapatkan hak-haknya sebagai warga
negara. Sementara itu minoritas non muslim di Indonesia mengancam akan
memisahkan diri bila tetap ada kata Syariat dalam UUD 45. Walaupun tujuh
kata telah dihapus ternyata upaya pemisahan itu tetap dilakukan oleh
kalangan nashrani di Indonesia timur. Peristiwa pembentukan Negara
Indonesia Timur tanggal 7-8 Desember 1946 sebagai hasil Konfrensi
Denpasar juga gerakan separatis RMS yg sampai sekarang masih menyisakan
bibit pergolakan di Maluku menjadi buktinya. Jadi masalahnya adl sikap
Islamophobia yg kental buah propaganda orientalis ditambah “mental
pengkhianat” yg diidap kebanyakan tokoh kristen hasil kedekatan dgn
penjajahan Portugis dan Belanda. Seorang guru besar Sekolah Tinggi
Kristen di Jakarta Th. Muller Kruger mengomentari kedatangan penjajah
“Mereka hendak menanamkan salib ditengah-tengah bangsa kafir bahkan
dapat juga dikatakan bahwa merupakan semacam “Perang Salib” apa yg
mereka lakukan.
Perang salib yg penghabisan tidak mengikuti jalan-jalan
yg semula. Sekarang musuh Islam “ini” diserang dari belakang; maksudnya
utk memotong dari sumber penghidupannya penyeberan Injil sudah menjadi
tujuan yg utama bukannya sebagai pekerjaan sambil lalu saja sebagaimana
halnya dgn usaha-usaha bangsa Belanda dan Inggris kemudiannya.” Jelaslah
bahwa yg menjadi masalah bukan pada teks asli Piagam Jakarta dgn
pencantuman Sayri’at Islam seperti sering diungkap oleh beberapa tokoh
kalangan muslim yg “terkontaminasi” dgn propaganda Islamophobia tetapi
pengkhianatan atas konsensus politik umat Islam oleh kalangan Tokoh
Sekuler. Di sisi lain banyak kekecewaan dari kalangan tokoh Muslim yg
merasa dikhianati oleh kaum nasionalis sekuler sehingga akumulasi
kekecewaan itu melahirkan gerakan perlawanan seperti gerakan
Kartosuwiryo di Jawa Barat Daud Beureuh di Aceh Kahar Muzakar di
Sulawesi dan sebagainya. Kesemuanya itu seharusnya menyadarkan kita akan
pengorbanan sia-sia anak bangsa yg tidak perlu terjadi. Begitulah para
pejuang muslim yg telah mengorbankan ribuan nyawa dan darah utk mengusir
penjajahan dari bumi pertiwi ini satu persatu justru malah dikhianati
bahkan dibantai oleh penguasa orde lama. Meminjam istilah Dr. Yusuf
Qorodhowi dalam buku Umat Islam Menyongsong Abad 21 “Aktifis
Islam menanam Orang sekuler yg menuai.” Di zaman Orde Baru di mana
terjadi marjinalisasi peran politik Umat Islam kurikulum pendidikan
dasar sampai perguruan tinggi dikemas sedemikian rupa utk kepentingan
penguasa sekuler banyak anak bangsa yg tidak mengetahui sejarah
kemerdekaannnya sendiri. Kesemuanya itu ternyata hanya melahirkan
pembangunan semu yg rapuh pembangunan materil yg berlandaskan utang
serta mengesampingkan pembangunan moral berlandaskan agama. Sejarah adl
catatan para penguasa dan itulah yg terjadi sampai tumbangnya Soeharto
dan datangnya era refomasi yg membuka kembali kran kebebasan. Era ini
harus dibarengi dgn merestorasi kembali catatan sejarah pada tempatnya
tentunya dgn kebesaran hati dan kebesaran jiwa tanpa distorsi dan
tendensi dan tentunya tanpa melupakan jasa para pahlawan kemerdekaan.
Itulah yg harus dilakukan sebagai tanggung jawab sejarah. Dan marilah
mulai membangun dgn mendahulukan hati nurani. Oleh Nurhakim Zaki Ketua
Umum Himpunan Mahasiswa Muslim Antar Kampus Indonesia.
No comments:
Post a Comment