DALAM sejarah bangsa Indonesia tercatat satu nama yang sudah
tidak asing lagi di telinga kita, yaitu Fatmawati. Wanita asal Bengkulu
inilah yang menjahit Sang Saka Bendera merah putih sebelum berkibar di
hari proklamasi 17 Agustus 1945.
Sebuah peninggalan sejarah dari istri Presiden Soekarno sewaktu
diasingkan ke Bengkulu yang kini masih bisa kita saksikan adalah sebuah
rumah yang terletak di Anggut, tidak jauh dari Simpang lima Ratu Samban
Bengkulu.
Berjarak kira-kira 600 meter dari Rumah Soekarno, Anda akan
menemukan sebuah rumah panggung yang masih nampak terawat. Rumah ini
mudah ditemukan karena terletak di pinggir jalan dekat pusat kota dan
dibubuhi tanda penjelas.
Terbalut warna coklat pada permukaan kayu yang mengelilingi
bangunannya, sekilas rumah ini nampak biasa namun keterkaitannya dengan
sejarah bangsa Indonesia tidak perlu dipertanyakan.
Sebelum menuju pintu masuk Rumah Fatmawati, terlebih dahulu Anda
harus melewati beberapa anak tangga berwarna putih. Setelah itu melewati
pagar kecil yang tepat berada di depan pintu.
Di dalam rumah wanita yang juga merupakan ibu dari Megawati Soekarno
Putri ini, Anda bisa melihat berbagai macam koleksi seperti foto-foto
Fatmawati, pakaian, mebel dan lain sebagainya.
Diantara berbagai benda yang masih terawat baik, ada satu benda
bernilai tinggi yaitu mesin jahit yang digunakan untuk menjahit Bendera
merah putih.
Mesin jahit yang teletak di salah satu ruangan di Rumah Fatmawati
ini merupakan mesin sederhana yang masih digerakkan dengan tangan.
Meskipun bagitu, mesin ini telah menjadi sebuah potongan sejarah yang
tidak bisa dilupakan dari kemerdekaan Indonesia yang menginjak 65 tahun.
Masih di rumah ini, Anda juga bisa menemukan sebuah puisi yang
dibuat Presiden Soekarno untuk Fatmawati. Presiden pertama Republik
Indonesia ini juga terkenal karena jiwa seninya yang tinggi.
Bila hendak berlibur ke Bengkulu, Rumah Fatmawati bisa Anda
masukkan ke salah daftar kunjungan. Di sini, Anda bisa menyaksikan salah
satu rangkain sejarah yang masih terawat dengan baik.
Tanggal
17 agustus 1945, bertempat di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta
(sekarang Jalan Proklamasi No. 56), tampak secarik
kain berwarna Merah-Putih berukuran 2 x 3
meter yang berkibar dengan bebas sebebas rakyat indonesia yang memadati
jalan tersebut.
Karena pada hari itulah kemerdekaan Bangsa
Indonesia di umumkan, secarik kain itulah yang kini disebut sebagai
Bendera Pusaka
(sekarang bendera tersebut mengkerut menjadi
berukuran 196 x 274 sentimeter).
Bendera yang telah dibuat setahun sebelum Proklamasi ini sudah beberapa kali dikibarkan pada tiang yang sama, dikarenakan balatentara Jepang ketika itu mulai mengizinkan bendera Merah-Putih dikibarkan berdampingan dengan bendera kebangsaan Jepang, pada hari – hari besar yang ditentukan oleh Jepang.
Bendera yang dibuat dan dijahit sendiri oleh Fatmawati, Istri Bung Karno, ketika keluarga itu baru kembali dari tempat pengasingan di Bengkulu, dan baru mulai tinggal di Jakarta. Shimizu, seorang perwira Jepang yang menjabat sebagai kepala barisan propaganda di Gunseikanbu (Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Sumatera), berkata : “bikin bendera yang paling besar ya!”
Permintaan Shimizu untuk membuat bendera Merah-Putih yang besar itu, sesungguhnya sesuai dengan “janji kemerdekaan” yang telah dinyatakan Jepang secara terbuka pada September 1944, dimana rakyat di izinkan mengibarkan bendera Merah-Putih berdampingan dengan bendera Jepang pada hari – hari besar.
Untuk mendapatkan cita atau bahan kain untuk membuat bendera besar yang yang pantas dikibarkan di halaman luas rumah besar Pegangsaan Cikini tersebut cukup sulit selama pendudukan Jepang. Rakyat Indonesia bahkan menggunakan pakaian yang dibuat dari bahan karung atau goni, disebabkan kelangkaan tekstil pada masa itu.
Shimizu lalu memerintahkan seorang Perwira Jepang untuk mengambil kain merah dan putih secukupnya, untuk diberikan kepada Ibu Fatmawati. Dua blok kain merah dan putih dari katun halus itu setara dengan jenis primissima untuk batik tulis halus yang diperoleh dari sebuah gudang di Jalan Pintu Air Jakarta Pusat, yang kemudian diantarkan oleh Chaerul Shaleh ke Pegangsaan.
Peran Ibu Fatmawati yang ketika itu berusia 22 tahun yang mampu melunakkan hati para Perwira Jepang, merupakan modal penting dalam mendampingi perjuangan Bung Karno. Ketika membuat bendera besar itu, Ibu Fatmawati sedang hamil tua mengandung bayinya yang pertama. “menjelang kelahiran Guntur, disaat usia kandungan mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah-Putih itu.” Ujar Ibu Fatmawati. Dikarenakan kondisi fisiknya, dan juga karena ukuran bendera yang besar, pekerjaan tersebut baru selesai dalam dua hari.
“Berulang kali saya menumpahkan air mata diatas bendera yang sedang saya saya jahit itu.” Kenang Ibu Fatmawati, titik-titik airmata beliau yang tumpah pada bendera pusaka itu, lalu terajut kedalam benang-benang katun halus itu, merupakan sumbangan seorang perempuan Indonesia kepada Bangsanya. Ibu Fatmawati mungkin tidak penah menduga bahwa bendera yang dijahitnya pada akhir tahun 1944 itu, ketika ia berumur 22 tahun, kelak mengukir sejarah dan menjadi pusaka bagi bangsa Indonesia.
Setiap hari sejak Proklamasi Kemerdekaan, Sang Merah-Putih hasil jahitan Ibu Fatmawati itu selalu dikibarkan di pekarangan rumah Presiden Soekarno di Jalan pegangsaan Timur 56. hujan kehujanan, panas kepanasan. Pada tanggal 3 Januari 1946, ujian berat dihadapi Republik Indonesia, dikarenakan pasukan sekutu yang dikirim ke Indonesia, ternyata disusupi oleh Pasukan Belanda. Belanda kembali melncarkan agresi militernya, dikarenakan Pemerintah Hindia Belanda tidak mengakui Kemerdekaan dan Kedaulatan Republik Indonesia.
Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tertanggal 4 Januari 1946 berbunyi : “Berhubung dengan keadaan di Kota Jakarta pada dewasa ini, Pemerintah Republik Indonesia menganggap perlu akan Presiden dan Wakil Presiden berkedudukan di luar Jakarta. Oleh sebab itu sejak kemarin Presiden dan Wakil Presiden telah berangkat ke tempat kedudukannya yang baru di Yogyakarta.
Pada 4 Januari 1946 pagi, rombongan Presiden dan Wakil Presiden tiba di Yogyakarta, keluarga Presiden Soekarno diantar ke Gedung Agung di ujung jalan Malioboro. Sedangkan keluarga Wakil Presiden Mohammad Hatta diantar ke sebuah rumah yang telah disediakan di sebelah utara Gedung Agung (sekarang menjadi Markas Korem 072/Pamungkas). Para Menteri tersebar di berbagai rumah penduduk.
Bendera Merah-Putih yang dibawa dari Pegangsaan Timur pun kemudian dikibarkan setiap hari di depan Gedung Agung. Berbeda dengan tiang kecil di Pegangsaan Timur, tiang bendera besar dan tinggi di depan Gedung Agung tampak lebih sepadan untuk bendera berukuran 2 x 3 meter itu.
Agresi Belanda terus dilancarkan untuk menekan Pemerintah Republik Indonesia, yang mana serangan terbesar terjadi pada tanggal 19 Desember 1948, sejak subuh pada hari Minggu itu Belanda menggempur Yogyakarta dengan tembakan mitraliur dari pesawat-pesawat terbang P-51 yang melintas rendah di atas Kota. Yogyakarta akhirnya jatuh. Presiden, Wakil Presiden, dan pemimpin-pemimpin besar yang lain ditawan. Foto Bung Karno memegang bendera Merah-Putih ketika hendak naik ke jip tentara Belanda di sebarluaskan oleh pihak Belanda, untuk mematahkan semangat perjuangan Bangsa Indonesia.
Bung Karno sempat melakukan aksi penyelamatan terhadap bendera Merah-Putih yang selama itu telah berkibar di Gedung Agung, yaitu bendera yang pada tahun 1944 dijahit oleh Ibu Fatmawati. Ia memanggil Husein Mutahar, Ajudan Presiden, dan menyerahkan bendera itu dengan amanat untuk menyelamatkannya. Bendera itu mempunyai nilai sejarah karena dikibarkan pada saat Proklamasi Kemerdekaan.
Bung Karno mengatakan kepada Mutahar. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Dengan ini aku memberi tugas kepadamu untuk menjaga bendera ini dengan nyawamu. Bendera ini tidak boleh jatuh ketangan musuh. Disatu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikan kepadaku sendiri dan tidak kepada siapapun, kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkan kepadaku sebagaimana engkau harus mengerjakannya.”
Dalam keadaan genting, Mutahar tidak bisa berpikir terlalu panjang untuk melaksanakan tugas penyelamatan bendera yang diterimanya dari Presiden Soekarno. Karena menganggap resikonya terlalu tinggi untuk mengungsi dibawah Agresi Belanda dengan membawa Bendera Merah-Putih, maka Mutahar kemudian membuka jahitan bendera itu. Rencananya, kain merah dan kain putih dari bendera itu akan dipisah tempat penyimpanannya. Dalam benaknya, Mutahar berpikir bahwa selama ia menjadi dua carik kain, maka ia tidak dapat disebut Bendera, sehingga kecil kemungkinan dirampas Belanda.
Dengan bantuan Ibu Pernadinata, senang jahitan itu dibuka, sehingga kedua carik kain merah dan putih itu terpisah. Mutahar meletakkannya masing-masing carik kain pada bagian dasar dua tas yang kemudian diisinya penuh dengan pakaian dan kelengkapan pribadi lainnya. Siap untuk dibawa mengungsi.
Setelah Presiden dan Wakil presiden ditangkap, lalu diterbangkan ke Sumatera, giliran Mutahar dan Staf Presiden lainnya yang tertangkap. Mereka dibawa kelapangan udara Maguwo, dan kemudian diterbangkan dengan pesawat Dakota ke Semarang. Di Kota itu mereka semua menjadi tahanan Belanda. Mutahar berhasil melarikan diri ke Jakarta, setelah hukumannya diringankan menjadi tahanan Kota.
Di Jakarta, Mutahar selalu mencari informasi tentang keberadaan Bung Karno yang ketika itu sudah diasingkan Belanda ke rumah pengasingan di Mentok, Pulau Bangka. Mengingat bahwa Bendera sebagai Lambang Negara dan juga kondisi sudah mulai tenang, bendera yang mempunyai nilai sejarah tinggi harus selalu berada di dekat Presiden Soekarno.
Mutahar kemudian meminjam mesin jahit milik seorang Dokter untuk menyatukan dua carik kain merah dan putih kembali menjadi bendera, setelah menerima surat pribadi dari Presiden Soekarno yang dibawa oleh Sudjono, yang mana isi surat tersebut untuk di bawa ke Mentok. Penjahitan dilakukan dengan sangat hati-hati untuk mengembalikan bendera ke bentuk aslinya. Setelah bendera berhasil disatukan, lalu dibungkus dengan kertaas Koran untuk menyamarkannya, dan diserahkan kepada Sudjono. (kelak pada Tahun 1961, Husein Mutahar menerima Anugrah Bintang Mahaputera yang disematkan sendiri oleh Presiden Soekarno, atas jasanya menyelematkan bendera itu.)
Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, beserta beberapa pemimpin Republik Indonesia tiba kembali dari pengasingan di Yogyakarta. Sebulan kemudian, tepatnya tanggal 17 Agustus 1949, bendera bersejarah itu dikibarkan kembali didepan Gedung Agung untuk memperingati Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke empat.
Nilai sejarah bendera Merah-Putih yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan mulai tampak jelas pada saat Bung Karno menempatkannya dalam sebuah peti berukir, dan membawanya kembali ke Jakarta. Dalam foto documenter terlihat bagaimana bendera itu dibawa turun keluar dari Pesawat Garuda Indonesian Airways dengan upacara khidmat pada sore hari 28 Desember 1949 itu.
Rombongan Presiden Soekarno di elu-elukan Masyarakat sepanjang perjalanan dari lapangan udara Kemayoran hingga Istana Koningsplein yang waktu itu disebut sebagai Istana Gambir. “Merdeka! Merdeka!” pekik rakyat di sepanjang jalan. Pada waktu itulah Bung Karno kemudian mengganti nama Gambir menjadi Istana Merdeka, termasuk yang berada disekitar Istana juga dinamai merdeka, Medan merdeka, dan Masjid Istiqlal yang dibangun kemudian (Istiqlal berarti Merdeka).
Sejak tahun 1958, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, Bendera Merah-Putih yang dikibarkan pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, di tetapkan sebagai Bendera Pusaka.
Sejak kembali ke Jakarta, Bendera Pusaka dikibarkan setiap tahun pada detik – detik Proklamasi di Istana Merdeka. Bendera Pusaka masih dikibarkan sekali lagi di Istana Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1968. artinya, hanya dua kali dikibarkan dalam pemerintahan Soeharto. Pada tahun 1969 di buatkan duplikat Bendera Pusaka dari bahan Sutera Alam.
Semula, Duplikat Bendera Pusaka direncanakan dibuat dari Sutera alam dengan seratus persen bahan dari Indonesia, termasuk zat pewarna alami dan tenun dengan tangan tanpa sambungan, sehingga warna merah dan putih menyatu tanpa dijahit. Tetapi, karena akan di bagikan keseluruh provinsi, dan berhubung waktunya sudah mendesak, maka pembuatan Duplikat Bendera Pusaka itu terpaksa dibuat di pabrik PT.Ratna di Bogor, di bawah penyeliaan Balai Penelitian Tekstil Bandung.
Pada 5 Agustus 1969, Presiden Soeharto menyerahkan Duplikat Bendera Pusaka dan Duplikat Naskah Proklamasi kepada para Gubernur seluruh Provinsi di Indonesia, untuk di pergunakan di daerah masing – masing pada Upacara Hari Proklamasi Kemerdekaan, dengan demikian, Bendera Pusaka tidak lagi dikibarkan, serta kemudian dilestarikan sebagai Pusaka Bangsa yang tidak ternilai.
Sekarang Bendera Pusaka di istirahatkan di salah satu ruang khusus di Istana Merdeka. Sebuah rencana kini tengah disiapkan untuk menempatkan Bendera Pusaka dalam sebuah ruang khusus di dalam Monumen Nasional.
Dengan demikian, Bendera Pusaka akan memasuki masa “pensiun total”, ia bahkan tidak lagi bertugas mengiringi pengibaran sang Merah-Putih tiap 17 Agustus di Istana Merdeka.
Bendera yang telah dibuat setahun sebelum Proklamasi ini sudah beberapa kali dikibarkan pada tiang yang sama, dikarenakan balatentara Jepang ketika itu mulai mengizinkan bendera Merah-Putih dikibarkan berdampingan dengan bendera kebangsaan Jepang, pada hari – hari besar yang ditentukan oleh Jepang.
Bendera yang dibuat dan dijahit sendiri oleh Fatmawati, Istri Bung Karno, ketika keluarga itu baru kembali dari tempat pengasingan di Bengkulu, dan baru mulai tinggal di Jakarta. Shimizu, seorang perwira Jepang yang menjabat sebagai kepala barisan propaganda di Gunseikanbu (Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Sumatera), berkata : “bikin bendera yang paling besar ya!”
Permintaan Shimizu untuk membuat bendera Merah-Putih yang besar itu, sesungguhnya sesuai dengan “janji kemerdekaan” yang telah dinyatakan Jepang secara terbuka pada September 1944, dimana rakyat di izinkan mengibarkan bendera Merah-Putih berdampingan dengan bendera Jepang pada hari – hari besar.
Untuk mendapatkan cita atau bahan kain untuk membuat bendera besar yang yang pantas dikibarkan di halaman luas rumah besar Pegangsaan Cikini tersebut cukup sulit selama pendudukan Jepang. Rakyat Indonesia bahkan menggunakan pakaian yang dibuat dari bahan karung atau goni, disebabkan kelangkaan tekstil pada masa itu.
Shimizu lalu memerintahkan seorang Perwira Jepang untuk mengambil kain merah dan putih secukupnya, untuk diberikan kepada Ibu Fatmawati. Dua blok kain merah dan putih dari katun halus itu setara dengan jenis primissima untuk batik tulis halus yang diperoleh dari sebuah gudang di Jalan Pintu Air Jakarta Pusat, yang kemudian diantarkan oleh Chaerul Shaleh ke Pegangsaan.
Peran Ibu Fatmawati yang ketika itu berusia 22 tahun yang mampu melunakkan hati para Perwira Jepang, merupakan modal penting dalam mendampingi perjuangan Bung Karno. Ketika membuat bendera besar itu, Ibu Fatmawati sedang hamil tua mengandung bayinya yang pertama. “menjelang kelahiran Guntur, disaat usia kandungan mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah-Putih itu.” Ujar Ibu Fatmawati. Dikarenakan kondisi fisiknya, dan juga karena ukuran bendera yang besar, pekerjaan tersebut baru selesai dalam dua hari.
“Berulang kali saya menumpahkan air mata diatas bendera yang sedang saya saya jahit itu.” Kenang Ibu Fatmawati, titik-titik airmata beliau yang tumpah pada bendera pusaka itu, lalu terajut kedalam benang-benang katun halus itu, merupakan sumbangan seorang perempuan Indonesia kepada Bangsanya. Ibu Fatmawati mungkin tidak penah menduga bahwa bendera yang dijahitnya pada akhir tahun 1944 itu, ketika ia berumur 22 tahun, kelak mengukir sejarah dan menjadi pusaka bagi bangsa Indonesia.
Setiap hari sejak Proklamasi Kemerdekaan, Sang Merah-Putih hasil jahitan Ibu Fatmawati itu selalu dikibarkan di pekarangan rumah Presiden Soekarno di Jalan pegangsaan Timur 56. hujan kehujanan, panas kepanasan. Pada tanggal 3 Januari 1946, ujian berat dihadapi Republik Indonesia, dikarenakan pasukan sekutu yang dikirim ke Indonesia, ternyata disusupi oleh Pasukan Belanda. Belanda kembali melncarkan agresi militernya, dikarenakan Pemerintah Hindia Belanda tidak mengakui Kemerdekaan dan Kedaulatan Republik Indonesia.
Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tertanggal 4 Januari 1946 berbunyi : “Berhubung dengan keadaan di Kota Jakarta pada dewasa ini, Pemerintah Republik Indonesia menganggap perlu akan Presiden dan Wakil Presiden berkedudukan di luar Jakarta. Oleh sebab itu sejak kemarin Presiden dan Wakil Presiden telah berangkat ke tempat kedudukannya yang baru di Yogyakarta.
Pada 4 Januari 1946 pagi, rombongan Presiden dan Wakil Presiden tiba di Yogyakarta, keluarga Presiden Soekarno diantar ke Gedung Agung di ujung jalan Malioboro. Sedangkan keluarga Wakil Presiden Mohammad Hatta diantar ke sebuah rumah yang telah disediakan di sebelah utara Gedung Agung (sekarang menjadi Markas Korem 072/Pamungkas). Para Menteri tersebar di berbagai rumah penduduk.
Bendera Merah-Putih yang dibawa dari Pegangsaan Timur pun kemudian dikibarkan setiap hari di depan Gedung Agung. Berbeda dengan tiang kecil di Pegangsaan Timur, tiang bendera besar dan tinggi di depan Gedung Agung tampak lebih sepadan untuk bendera berukuran 2 x 3 meter itu.
Agresi Belanda terus dilancarkan untuk menekan Pemerintah Republik Indonesia, yang mana serangan terbesar terjadi pada tanggal 19 Desember 1948, sejak subuh pada hari Minggu itu Belanda menggempur Yogyakarta dengan tembakan mitraliur dari pesawat-pesawat terbang P-51 yang melintas rendah di atas Kota. Yogyakarta akhirnya jatuh. Presiden, Wakil Presiden, dan pemimpin-pemimpin besar yang lain ditawan. Foto Bung Karno memegang bendera Merah-Putih ketika hendak naik ke jip tentara Belanda di sebarluaskan oleh pihak Belanda, untuk mematahkan semangat perjuangan Bangsa Indonesia.
Bung Karno sempat melakukan aksi penyelamatan terhadap bendera Merah-Putih yang selama itu telah berkibar di Gedung Agung, yaitu bendera yang pada tahun 1944 dijahit oleh Ibu Fatmawati. Ia memanggil Husein Mutahar, Ajudan Presiden, dan menyerahkan bendera itu dengan amanat untuk menyelamatkannya. Bendera itu mempunyai nilai sejarah karena dikibarkan pada saat Proklamasi Kemerdekaan.
Bung Karno mengatakan kepada Mutahar. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Dengan ini aku memberi tugas kepadamu untuk menjaga bendera ini dengan nyawamu. Bendera ini tidak boleh jatuh ketangan musuh. Disatu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikan kepadaku sendiri dan tidak kepada siapapun, kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkan kepadaku sebagaimana engkau harus mengerjakannya.”
Dalam keadaan genting, Mutahar tidak bisa berpikir terlalu panjang untuk melaksanakan tugas penyelamatan bendera yang diterimanya dari Presiden Soekarno. Karena menganggap resikonya terlalu tinggi untuk mengungsi dibawah Agresi Belanda dengan membawa Bendera Merah-Putih, maka Mutahar kemudian membuka jahitan bendera itu. Rencananya, kain merah dan kain putih dari bendera itu akan dipisah tempat penyimpanannya. Dalam benaknya, Mutahar berpikir bahwa selama ia menjadi dua carik kain, maka ia tidak dapat disebut Bendera, sehingga kecil kemungkinan dirampas Belanda.
Dengan bantuan Ibu Pernadinata, senang jahitan itu dibuka, sehingga kedua carik kain merah dan putih itu terpisah. Mutahar meletakkannya masing-masing carik kain pada bagian dasar dua tas yang kemudian diisinya penuh dengan pakaian dan kelengkapan pribadi lainnya. Siap untuk dibawa mengungsi.
Setelah Presiden dan Wakil presiden ditangkap, lalu diterbangkan ke Sumatera, giliran Mutahar dan Staf Presiden lainnya yang tertangkap. Mereka dibawa kelapangan udara Maguwo, dan kemudian diterbangkan dengan pesawat Dakota ke Semarang. Di Kota itu mereka semua menjadi tahanan Belanda. Mutahar berhasil melarikan diri ke Jakarta, setelah hukumannya diringankan menjadi tahanan Kota.
Di Jakarta, Mutahar selalu mencari informasi tentang keberadaan Bung Karno yang ketika itu sudah diasingkan Belanda ke rumah pengasingan di Mentok, Pulau Bangka. Mengingat bahwa Bendera sebagai Lambang Negara dan juga kondisi sudah mulai tenang, bendera yang mempunyai nilai sejarah tinggi harus selalu berada di dekat Presiden Soekarno.
Mutahar kemudian meminjam mesin jahit milik seorang Dokter untuk menyatukan dua carik kain merah dan putih kembali menjadi bendera, setelah menerima surat pribadi dari Presiden Soekarno yang dibawa oleh Sudjono, yang mana isi surat tersebut untuk di bawa ke Mentok. Penjahitan dilakukan dengan sangat hati-hati untuk mengembalikan bendera ke bentuk aslinya. Setelah bendera berhasil disatukan, lalu dibungkus dengan kertaas Koran untuk menyamarkannya, dan diserahkan kepada Sudjono. (kelak pada Tahun 1961, Husein Mutahar menerima Anugrah Bintang Mahaputera yang disematkan sendiri oleh Presiden Soekarno, atas jasanya menyelematkan bendera itu.)
Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, beserta beberapa pemimpin Republik Indonesia tiba kembali dari pengasingan di Yogyakarta. Sebulan kemudian, tepatnya tanggal 17 Agustus 1949, bendera bersejarah itu dikibarkan kembali didepan Gedung Agung untuk memperingati Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke empat.
Nilai sejarah bendera Merah-Putih yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan mulai tampak jelas pada saat Bung Karno menempatkannya dalam sebuah peti berukir, dan membawanya kembali ke Jakarta. Dalam foto documenter terlihat bagaimana bendera itu dibawa turun keluar dari Pesawat Garuda Indonesian Airways dengan upacara khidmat pada sore hari 28 Desember 1949 itu.
Rombongan Presiden Soekarno di elu-elukan Masyarakat sepanjang perjalanan dari lapangan udara Kemayoran hingga Istana Koningsplein yang waktu itu disebut sebagai Istana Gambir. “Merdeka! Merdeka!” pekik rakyat di sepanjang jalan. Pada waktu itulah Bung Karno kemudian mengganti nama Gambir menjadi Istana Merdeka, termasuk yang berada disekitar Istana juga dinamai merdeka, Medan merdeka, dan Masjid Istiqlal yang dibangun kemudian (Istiqlal berarti Merdeka).
Sejak tahun 1958, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, Bendera Merah-Putih yang dikibarkan pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, di tetapkan sebagai Bendera Pusaka.
Sejak kembali ke Jakarta, Bendera Pusaka dikibarkan setiap tahun pada detik – detik Proklamasi di Istana Merdeka. Bendera Pusaka masih dikibarkan sekali lagi di Istana Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1968. artinya, hanya dua kali dikibarkan dalam pemerintahan Soeharto. Pada tahun 1969 di buatkan duplikat Bendera Pusaka dari bahan Sutera Alam.
Semula, Duplikat Bendera Pusaka direncanakan dibuat dari Sutera alam dengan seratus persen bahan dari Indonesia, termasuk zat pewarna alami dan tenun dengan tangan tanpa sambungan, sehingga warna merah dan putih menyatu tanpa dijahit. Tetapi, karena akan di bagikan keseluruh provinsi, dan berhubung waktunya sudah mendesak, maka pembuatan Duplikat Bendera Pusaka itu terpaksa dibuat di pabrik PT.Ratna di Bogor, di bawah penyeliaan Balai Penelitian Tekstil Bandung.
Pada 5 Agustus 1969, Presiden Soeharto menyerahkan Duplikat Bendera Pusaka dan Duplikat Naskah Proklamasi kepada para Gubernur seluruh Provinsi di Indonesia, untuk di pergunakan di daerah masing – masing pada Upacara Hari Proklamasi Kemerdekaan, dengan demikian, Bendera Pusaka tidak lagi dikibarkan, serta kemudian dilestarikan sebagai Pusaka Bangsa yang tidak ternilai.
Sekarang Bendera Pusaka di istirahatkan di salah satu ruang khusus di Istana Merdeka. Sebuah rencana kini tengah disiapkan untuk menempatkan Bendera Pusaka dalam sebuah ruang khusus di dalam Monumen Nasional.
Dengan demikian, Bendera Pusaka akan memasuki masa “pensiun total”, ia bahkan tidak lagi bertugas mengiringi pengibaran sang Merah-Putih tiap 17 Agustus di Istana Merdeka.
No comments:
Post a Comment