Tuesday, February 4, 2020

BIOGRAFI IMAM AT-TIRMIDZI


Disusun Oleh:
FAUZAN MAULANA


PENDAHULUAN
Hadits Nabawi adalah sumber kedua setelah Al-Qur’an yang diikuti oleh Ijma’ dan juga Qiyas. Hadits tak bisa dipungkiri memiliki peranan yang urgent sebagai sumber terhadap hukum-hukum Islam. Al-Qur’an bisa difahami dan didekati melalui hadits sehingga hadits berperan sebagai Mubayin, Muqayyid, Muwaddih al Musykil, Nasikh dan lain-lain bagi Al-Qur’an.
Lain halnya dengan Al-Qur’an yang sejak awal sudah menjadi perhatian banyak kalangan sahabat, hadits pada masa Rasulullah hidup hanya diriwayatkan secara lisan tanpa menggunakan tulisan. Sebab, saat itu jika hadits ditulis dihawatirkan redaksi-redaksinya tercampur dengan ayat Al-Qur’an. Meskipun demikian, ada beberapa sahabat yang tetap menulis redaksi hadits untuk kepentingan pribadinya bukan rujukan umum. Sebut saja Abdullah ‘Amr bin al ‘Ash.
Setelah Rasulullah wafat, dan banyak para sahabat penghafal hadits yang meninggal. Khalifah Umar bin Abdul Aziz mulai merasa hawatir dan prihatin terhadap hadits yang belum sepenuhnya ditulis. Kehawatiran inilah yang menjadi langkah awal untuk pengkodifikasian hadits. Muhammad bin Syihab al Zuhri bertugas sebagai koordinator pengumpul hadits. Hadits yang terkumpul pada saat itu belum terklasifikasi berdasarkann bab, kwalitas dll namun masih bercampur dalam satu buku kumpulan hadits-hadits Nabi yang disebut al Jawami’.
Seiring tersebarnya Islam, maka perhatian penuh terhadap Hadits mulai tampak. Lahirlah rumusan-rumusan kaidah yang berkaitan dengan hadits seperti penerimaan hadits, kwalisifikasi hadits dll. Rumusan kaidah inilah yang kemudian pada masa Tabi’-tabi’in dibukukan ke dalam satu disiplin ilmu yang disebut Ilmu hadits. Di samping kitab yang berkaitan dengan Ilmu Hadits, kitab-kitab hadits Nabi juga mulai marak ditulis. Kitab-kitab ini yang kemudian dijadikan kitab induk hadits Nabi.
PEMBAHASAN
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Isa Muhammad Bin ‘Isa Bin Tsaurah Bin Musa Bin ad-Dahaq as-Sulami at-Tirmiz. Penisbahan namanya kepada as-Sulami merupakan nisbah kepada satu kabilah yang dijadikan sebagai afiliasi beliau. Dan nisbah ini merupakan sebuah nisbah kearaban. Akan tetapi, belum ditemukan sumber secara pasti, apakah iabenar berasal dari Arab atau tidak. Karena, sebagian dari penulis kontemporer mengatakan bahwa seluruh pengarang kitab as-sittah adalah a’jami (bukan berasal dari Arab). Sedangkan penisbahan namanya kepadaTirmizi, karena,ia lahir dan berkembang di kota Tirmiz, yaitu kota yang terletak dibagian selatan kota Iran sekarang.[1]
Imam Tirmizi lahir pada bulan zullhijjah tahun 209 H (824 M). Kakeknya dahulunya merupakan orang Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap disana, lalu di kota inilah terlahirnya imam at-Tirmizi. Sejak kecil ia sudah suka mempelajari ilmu hadis dan melakukan perjalanan ke beberapa negri untuk mendapatkan ilmu. Dalam perjalanannya inilah, ia bertemu dengan beberapa ulama besar ahli hadis dan belajar hadis bersama mereka.
Imam Tirmidzi lebih populer dengan nama Abu Isa. Bahkan dalam kitab al-Jami’nya, ia selalu memakai nama Abu Isa, meskipun sebagian ulama sangat membenci sebutan tersebut dengan berargumen kepada sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Syaibah bahwa “seorang pria tidak diperkenankan memakai nama Abu Isa, karena, Isa tidak punya ayah”. Namun, tetap saja ini tidak berpengaruh, karena, hal ini dimaksudkan untuk membedakan at-Tirmizi dengan ulama yang lain, sebabada beberapa ulama besar yang juga terkenal dengan nama at-Tirmizi, yaitu:[2]
a.       Abu Isa at-Tirmizi, pengarang kitab al-Jami’atau Sunan at-Tirmizi, tokoh yang menjadi topik pembahasan pada tulisan ini.
b.      Abu al-Hasan Ahmad bin al-Hasan, yang masyhur dengan panggilan at-Tirmizi al-Kabir
c.       Al-Hakim at-Tirmidzi Abu Abdillah Muhammad Ali bin al-Hasan bin Basyar, seorang yang berkepribadian zuhud, hafidz, muazzin, juga pengarang kitab yang biasa dikenal dengan sebutan al-Hakim at-Tirmidzi.[3]
Adapun nisbat yang melekat pada at Tirmidzi adalah al Sulami, dibangsakan dengan Bani Sulami, dan Kabilah Ailan. Sementara al Bugi adalah tempat dimana at Tirmidzi wafat dan dimakamkan. Pada saat umurnya 70 tahun, sang Illahi memanggil imam Tirmizi, bertepatan  pada tahun 279 H. Imam As Syakir menyebutkan bahwa Imam Tirmizi wafat pada bulan Rajab tanggal 13 tahun 279 H pada malam Senin. Hal ini sejalan dengan pendapat Al-Hafiz Al-Mizzi dalam kitab at Tahzib dari Al-Hafizh Abu Abbas Ja’far Muhammad Ibn Mu’taz Al-Mustaghfiri, sebagai ahli sejarah yang telah melawat ke Khurasan dan lama menetap disana. [4]
Kota Tirmiz merupakan sebuah kota yang banyak melahirkan dan membesarkan ulama, baik itu ulama hadis, tasawuf dan bahasa Arab. Keadaan ini jugalah yang mendukung imam Tirmidzi berpacu semangat dalam mempelajari dan mengumpulkan hadis. Walaupun, keadaan kota kelahirannya mendukung untuk mempelajari dan meriwayatkan hadis, namun imam Tirmizi belum merasa puas dengan keadaan tersebut. Maka, untuk memenuhi rasa kepuasan dirinya, ia melakukan perjalanan kebeberapa negeri untuk belajar dari ulama hadis yang ada di negeri tersebut. Dalam perlawatannya, imam Tirmizi melakukan perjalanan ke Bukhara, Khurasan, Naysabur, Iraq, Hijaz, Makkah, dan beberapa negeri lainnya.[5] akan tetapi beliau tidak melakukan perjalanan ke Mesir dan Syam. Hal ini disebabkan, karena keadaan yang tidak memungkin pada waktu itu, sehingga ia meriwayatkan hadis dari ulama kedua negeri ini dengan perantaraan ulama lainnya.[6] Selain dua kota ini, imam Tirmizi juga tidak mendatangi kota Bagdag. Karena, kemungkinan adanya situasi yang negatif di kota Bagdag ketika itu, sehingga ia tidak dapat mendengar hadis secara langsung dari imam Ahmad Bin Hanbal.Dalam pelawatannya, imam Tirmizi selalu mencatat hadis dari ulama yang ditemuinya.[7]
Ia meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Diantaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia belajar hadits dan fiqh. Ia juga belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Guru beliau lainnya adalah:
1.    Qutaibah bin Said
2.    Ishaq bin Rahawahib
3.    Muhammad bin ‘Amru as-Sawwaq al-Balqi
4.    Mahmud bin Galani
5.    Isma’il bin Musa al-Fazari, dll.[8]
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama yang mayoritas mereka adalah murid-muridnya. Diantaranya adalah: Makhul bin Fadl, Muhammad bin Mahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, Ai-bd bin Muhammad an Nasfiyyun, al Haisam bin Kulaib asy Syasyi, Ahmad bin Yusuf an Nasa’I, Abul ‘Abbas Muhammad bin Mahbub al Mahbubi. Mereka meriwayatkan kitab Jami’nya dan kitab-kitab yang lain.[9]
Karya-karya Imam Tirmidzi, Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab, diantaranya:
1.      Al Jami’ as Sahihain, yang terkenal dengan sebutan Sunan at Tirmidzi
2.      Kitab I’Illal
3.      Kitab Tarikh
4.      Kitab as-Sama’il al-Nabawiyyh
5.      Kitab al-Zuhud
6.      Kitab al-Asma; wa al-Kuna, dll.[10]
Diantara kitab-kitab diatas, yang paling terkenal adalah Al Jami’ as Sahihain atau Sunan at Tirmidzi, dan kitab-kitab lainnya kurang dikenal dikalanngan masyarakat.
Judul lengkap kitab al–Jami’al–Shahih adalah al-Jami’al–Mukhtasharminal–Sunan‘an Rasulillah Shallallahu ‘alahi wa Sallam wa Ma’rifat al-Shahih wa al-Ma’lul wa Ma’ ‘alaihi al-‘Amal.[11] Meski demikian kitab ini lebih popular dengan nama al–Jami’al–Tirmidzi atau Sunanal–Tirmidzi.Untuk kedua penamaan ini tampaknya tidak dipermasalahkan oleh ulama. Adapun yang menjadi pokok perselisihan adalah ketika kata-kata shahih melekat dengan nama kitab. Al-Hakim (w. 405 H) dan al-Khatib al-Baghdadi (w. 483 H) tidak keberatan menyebut dengan Shahihal–Tirmidzi atau al–Jami’al–Shahih.Berbeda dengan Ibn Katsir (w. 774 H) yang menyatakan pemberian nama itu tidak tepat dan terlalu gegabah, sebab di dalam kitab al–Jami’al–Tirmidzi tidak hanya memuat hadis shahih saja, akan tetapi memuat pula hadis-hadis hasan, dha’if dan munkar, meskipun al-Tirmidzi selalu menerangkan kelemahannya, ke-mu’alal-annya dengan kemunkarannya.
Dalam meriwayatkan hadis, al-Tirmidzi menggunakan metode yang berbeda dengan ulama-ulama lain. Berikut metode-metode yang ditempuh oleh al-Tirmidzi:
1.    Men-takhrij hadis yang menjadi amalan para fuqaha’.
Dalam kitabnya, al-Tirmidzi tidak meriwayatkan hadis, kecuali hadis yang diamalkan oleh fuqaha’, kecuali dua hadis, yaitu, yang artinya:
“Sesungguhnya Rasulullah menjama’ Shalat Zuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’, tanpa adanya sebab takut, dalam perjalanan, dan tidak pula karena hujan”.
“Apabila seseorang minum khamar, maka deralah ia, dan jika ia kembali minum khamar pada yang keempat kalinya maka bunuhlah ia”.
·       Hadis pertama, menerangkan tentang men-jama’ shalat. Para ulama tidak sepakat untuk meninggalkan hadis ini, dan boleh hukumnya melakukan shalat jama’ di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Demikian pendapat Ibn Sirin serta sebagian ahli fiqih dan ahli hadis.
·       Hadis kedua, menerangkan bahwa peminum khamarakan dibunuh jika mengulangi perbuatannya yang keempat kalinya. Hadis ini menurut al-Tirmidzi dihapus oleh ijma’ ulama.
Dengan demikian dapat dipahami maksud al-Tirmidzi mencantumkan hadis tersebut, adalah untuk menerangkan ke-mansukh-an hadis, yaitu telah di-mansukh dengan hadis riwayat al-Zuhri dari Qabisah bin Zawaib dari Nabi, yang menerangkan bahwa peminum khamar tersebut dibawa kepada Rasul. Kemudia Rasul SAW. Memukulnya dan bukan membunuhnya.
2.    Memberi penjelasan tentang kualitas dan keadaan hadis.
Salah satu kelebihan al-Tirmidzi adalah ia mengetahui benar keadaan hadis yang ia tulis. Hal itu berdasarkan hasil diskusinya dengan para ulama tentang keadaan hadis yang ia tulis. Dalam kitab al–Jami’, al-Tirmidzi mengungkapkan :
“Dan apa yang telah disebutkan dalam kitab ini mengenai ‘ilal hadis, rawi ataupun sejarah adalah hasil dari apa yang aku takhrij dari kitab-kitab tarikh, dan kebanyakan yang demikian itu adalah hasil diskusi saya dengan Muhammad bin Isma’il (al-Bukhari)”.
Pada kesempatan lain al-Tirmidzi juga mengatakan :
“Dan kami mempunyai argumen yang kuat berdasarkan pendapat ahli fiqih terhadap materi yang kami terangkan dalam kitab ini”.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa usaha menjelaskan keadaan suatu hadis dimaksudkan olah al-Tirmidzi untuk mengetahui kelemahan hadis bersangkutan. Menurut al-Hafiz Abu Fadhil bin Tahir al-Maqdisi (w. 507 H) ada empat syarat yang ditetapkan oleh al-Tirmidzi sebagai standarisasi periwayatan hadis, yaitu:
1.    Hadis-hadis yang sudah disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim.
2.    Hadis-hadis yang shahih menurut standar keshahihan Abu Awud dan al-Nasa’I, yaitu hadis-hadis yang para ulama tidak sepakat untuk meninggalkannya, dengan ketentuan hadis itu bersambung sanadnya dan tidak mursal.
3.    Hadis-hadis yang tidak dipastikan keshahihannya dengan menjelaskan sebab-sebab kelemahannya.
4.    Hadis-hadis yang dijadikan hujjah oleh fuqaha’, baik hadis tersebut shahih atau tidak. Tentu saja ketidak-shahihannya tidak sampai pada tingkat dha’ifmatruk.

Kitab al-Jami’al-Shahih ini memuat berbagai permasalahan pokok agama, di antaranya yaitu; al-aqa’id (tentang tauhid), al-ahkam (tentang hukum), al-riqaq (tentang budi luhur), adab (tentang etika), al-tafsir (tentang tafsir Al-Qur’an), al-tarikhwaal-siyar (tentang sejarah dan sejarah jihad Nabi SAW.), al-syama’il (tabi’t), al-fitan (tentang terjadinya fitnah dan malapetaka), dan al-manaqibwaal-masalib (tentang biografi sahabat dan tabi’in). Oleh sebab itu kitab hadis ini disebut dengan al-Jami’.Secara keseluruhan, kitab al-Jami’al-Shahih atau Sunanal-Tirmidzi ini terdiri dari 5 juz, 2375 bab dan 3956 hadits.[12]
Menurut al-Tirmidzi, isi hadis-hadis dalam al-Jami’al-Shahih, telah diamalkan ulama’ Hijaz, Iraq, Khurasan dan daerah lain (dalam kitab Tarikh-nya, Ibnu Katsir meriwayatkan dari al-Tirmidzi, dia berkata: “Aku telah menyusun kitab Musnad yang shahih ini dan telah aku tunjukkan kepada para ulama Hijaz, Iraq, Khurasan dan mereka menyenanginya. Barangsiapa di rumahnya terdapat kitab ini, maka seakan-akan di rumahnya ada seorang Nabi yang bersabda), kecuali dua hadis (yang telah dibahas dimuka). Hadis ini diperselisihkan ulama baik segi sanad maupun dari segi matan, sehingga sebagian ulama ada yang menerima dan ada yang menolak dengan alasan-alasan yang berdasarkan naqli maupun akal.[13]
Kitab al-Jami’al-Shahih ini disusun berdasarkan urutan bab fiqih, dari bab thaharah seterusnya sampai dengan bab akhlaq, do’a, tafsir, fadha’il dan lain-lain. Dengan kata lain al-Tirmidzi dalam menulis hadis dengan mengklasifikasi sistematikanya dengan model juz, kitab, bab dan sub bab. Kitab ini ditahqiq dan dita’liq oleh tiga ulama kenamaan pada generasi sekarang (modern), yakni Ahmad Muhammad Syakir (sebagai Qadhi Syar’i), Muhammad Fu’ad Abdul Baqi’ (sebagai penulis dan pengarang terkenal), dan Ibrahim ‘Adwah ‘Aud (sebagai dosen pada Universitas al-Azhar Kairo Mesir).
Secara rinci sistematika kitab al-Jami’al-Shahihakan dijelaskan sebagai berikut:
·       Juz I terdiri dari 2 kitab, tentang Thaharah dan Shalat yang meliputi 184 bab 237 hadis.
·       Juz II terdiri dari kitab Witir, Jumu’ah, Idayn dan Safar, meliputi260 bab dan 355 hadis.
·       Juz III terdiri dari kitab Zakat, Shiyam, Haji, Janazah, Nikah, Rada’, Thalaq dan Li’an, Buyu’ dan al-Ahkam, meliputi 516 bab dan 781 hadis.
·       Juz IV terdiri dari kitab Diyat, Hudud, Sa’id, Dzaba’ih, Ahkam dan Sa’id, Dahi, Siyar, FadhilahJihad, Libas, Ath’imah, Asyribah, BirrwaShilah, al-Thibb, Fara’id, Washaya, Wali dan Hibbah, Fitan, al-Ra’yu, Syahadah, Zuhud, Qiyamah, Raqa’iq dan Wara’, Jannah dan Jahannam, meliputi 734 bab dan 997 hadis.
·       Juz V terdiri dari 10 pembahasan, tentang Iman, ‘Ilm, Isti’dzan, Adab, al-Nisa’, Fadha’ilal-Qur’an, Qira’ah, Tafsiral-Qur’an, Da’awat, Manaqib, yang meliputi 474 bab dan 773 hadis, di tambah tentang pembahasan ‘Ilal.

Terlepas dari kebesaran dan kontribusi yang telah diberikan oleh al-Tirmidzi melalui kitabnya, tetap muncul pelbagai pandangan kontroversial antara yang memuji dan mengkritik karya tersebut. Di antaranya adalah al-Hafiz al-‘Alim al-Idrisi, yang menyatakan bahwa al-Tirmidzi adalah seorang dari para Imam yang memberikan tuntunan kepada mereka dalam ilmu hadits, mengarang al-Jami’, Tarikh, ‘Ilal, sebagai seorang penulis yang ‘alim yang meyakinkan, ia seorang contoh dalam hafalan.
Lain halnya dengan al-Hafiz Ibn Asihr (w. 524 H), yang menyatakan bahwa kitab al-Tirmidzi adalah kitab shahih, juga sebaik-baiknya kitab, banyak kegunaannya, baik sistematika penyajiannya dan sedikit sekali hadis-hadis yang terulang. Di dalamnya juga dijelaskan pula hadis-hadis yang menjadi amalan suatu mazhab disertai argumentasinya.Di samping itu al-Timidzi juga menjelaskan kualitas hadis, yaitu shahih, saqim dan gharib.Dalam kitab tersebut juga dikemukakan kelemahan dan keutamaan (al-Jarhwaal-Ta’dil) para perawi hadis.Ilmu tersebut sangat berguna untuk mengetahui keadaan perawi hadis yang menetukan apakah dia diterima atau ditolak.
Sementara Abu Isma’il al-Harawi (w. 581 H) berpendapat, bahwa kitabal-Tirmidzi lebih banyak memberikan faedah dari pada kitab ShahihBukhari dan ShahihMuslim, sebab hadis yang termuat dalam kitab al-Jami’al-Shahihal-Tirmidzi diterangkan kualitasnya, demikian juga dijelaskan sebab-sebab kelemahannya, sehingga orang dapat lebih mudah mengambil faedah kitab itu, baik dari kalangan fuqaha’, muhadditsin, dan lainnya.
Al-‘Allamah al-Syaikh’ Abd al-‘Aziz berpendapat, bahwa kitab al-Jami’al-Shahihal-Tirmidzi adalah kitab yang terbaik, sebab sistematika penulisannya baik, yaitu sedikit hadis-hadis yang disebutkan berulang-ulang, diterangkan mengenai mazhab-mazhabfuqaha’ serta cara istidlal yang mereka tempuh, dijelaskan kualitas hadisnya, dan disebutkan pula nama-nama perawi, baik gelar maupun kunyahnya.
Seorang orientalis Jerman, Brockelman menyatakan ada sekitar 40 hadis yang tidak diketahui secara pasti apakah hadis-hadis itu termasuk hadis Abi Isa al-Tirmidzi.Sekumpulan hadis itu dipertanyakan apakah kitab yang berjudul al-Zuhud atau al-Asma’waal-Kunya.Ada dugaan keras bahwa kumpulan hadis itu adalah al-Fiqh atau al-Tarikh, tetapi masih diragukan.
Ignaz Goldziher dengan mengutip pendapat al-Zahabi telah memuji kitab al-Jami’ al-Shahih dengan memberikan penjelasan bahwa kitab ini terdapat perubahan penetapan isnad hadis, meskipun tidak menyebabkan penjelasan secara rinci, tetapi hanya garis besarnya.Di samping itu, di dalam kitab al-Jami’al-Shahih ini ada kemudahan dengan memperpendek sanad.
Kendati banyak yang memuji kitab al-Jami’al-Tirmidzi, namun bukan berarti kemudian luput dari kritikan.Al-HafizIbnal-Jauzi (w. 751 H) mengemukakan, bahwa dalam kitab al-Jami’al-Shahihlial-Tirmidzi terdapat 30 hadis maudu’ (palsu), meskipun pada akhirnya pendapat tersebut dibantah oleh Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H) dengan mengemukakan, bahwa hadis-hadis yang dinilai palsu tersebut sebenarnya bukan palsu, sebagaimana yang terjadi dalam kitab ShahihMuslim yang telah dinilainya palsu, namun ternyata bukan palsu.
Di kalangan ulamahadis, al-Jauzi memang dikenal terlalu tasahul (mudah) dalam menilai hadis sebagai hadis palsu.Mengacu kepada pendapat al-Suyuti, dan didukung oleh pengakuan mayoritas ulama hadis seperti telah dikemukakan, maka penilaian Ibn al-Jauzi tersebut tidak merendahkan al-Tirmidzi dan kitab al-Jami’al-Shahih-nya.[14]

KESIMPULAN
Terlepas dari kebesaran dan kontribusi yang telah diberikan oleh al-Tirmidzi melalui kitabnya, tetap muncul berbagai pandangan kontroversial antara yang memuji dan mengkritik karya tersebut. Di antaranya adalah al-Hafiz al-‘Alim al-Idrisi, yang menyatakan bahwa al-Tirmidzi adalah seorang dari para Imam yang memberikan tuntunan kepada mereka dalam ilmu hadis, mengarang al-Jami’, Tarikh, ‘Ilal, sebagai seorang penulis yang ‘alim yang meyakinkan, ia seorang contoh dalam hafalan.
Karena pentingnya ilmu Hadits maka sebagai umat islam kita seharusnya lebih memahami secara akan ilmu hadits tersebut serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, kita harus tetap menjaga kemurnian dari isi hadits tersebut, karena bagaimanapun hadits merupakan pedoman setelah Al-Qur’an.




No comments: