Disusun Oleh:
FAUZAN MAULANA
PENDAHULUAN
Hadits Nabawi adalah sumber kedua setelah Al-Qur’an yang
diikuti oleh Ijma’ dan juga Qiyas. Hadits tak bisa dipungkiri memiliki peranan
yang urgent sebagai sumber terhadap hukum-hukum Islam. Al-Qur’an bisa difahami
dan didekati melalui hadits sehingga hadits berperan sebagai Mubayin, Muqayyid,
Muwaddih al Musykil, Nasikh dan lain-lain bagi Al-Qur’an.
Lain halnya dengan Al-Qur’an yang sejak awal sudah menjadi
perhatian banyak kalangan sahabat, hadits pada masa Rasulullah hidup hanya
diriwayatkan secara lisan tanpa menggunakan tulisan. Sebab, saat itu jika
hadits ditulis dihawatirkan redaksi-redaksinya tercampur dengan ayat Al-Qur’an.
Meskipun demikian, ada beberapa sahabat yang tetap menulis redaksi hadits untuk
kepentingan pribadinya bukan rujukan umum. Sebut saja Abdullah ‘Amr bin al
‘Ash.
Setelah Rasulullah wafat, dan banyak para sahabat penghafal
hadits yang meninggal. Khalifah Umar bin Abdul Aziz mulai merasa hawatir dan
prihatin terhadap hadits yang belum sepenuhnya ditulis. Kehawatiran inilah yang
menjadi langkah awal untuk pengkodifikasian hadits. Muhammad bin Syihab al
Zuhri bertugas sebagai koordinator pengumpul hadits. Hadits yang terkumpul pada
saat itu belum terklasifikasi berdasarkann bab, kwalitas dll namun masih
bercampur dalam satu buku kumpulan hadits-hadits Nabi yang disebut al Jawami’.
Seiring tersebarnya Islam, maka perhatian penuh terhadap
Hadits mulai tampak. Lahirlah rumusan-rumusan kaidah yang berkaitan dengan
hadits seperti penerimaan hadits, kwalisifikasi hadits dll. Rumusan kaidah
inilah yang kemudian pada masa Tabi’-tabi’in dibukukan ke dalam satu disiplin
ilmu yang disebut Ilmu hadits. Di samping kitab yang berkaitan dengan Ilmu
Hadits, kitab-kitab hadits Nabi juga mulai marak ditulis. Kitab-kitab ini yang
kemudian dijadikan kitab induk hadits Nabi.
PEMBAHASAN
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Isa Muhammad Bin ‘Isa Bin Tsaurah
Bin Musa Bin ad-Dahaq as-Sulami at-Tirmiz. Penisbahan namanya kepada as-Sulami
merupakan nisbah kepada satu kabilah yang dijadikan sebagai afiliasi beliau.
Dan nisbah ini merupakan sebuah nisbah kearaban. Akan tetapi, belum ditemukan
sumber secara pasti, apakah iabenar berasal dari Arab atau tidak. Karena,
sebagian dari penulis kontemporer mengatakan bahwa seluruh pengarang kitab
as-sittah adalah a’jami (bukan berasal dari Arab). Sedangkan penisbahan namanya
kepadaTirmizi, karena,ia lahir dan berkembang di kota Tirmiz, yaitu kota yang
terletak dibagian selatan kota Iran sekarang.[1]
Imam Tirmizi lahir pada bulan zullhijjah tahun 209 H (824 M).
Kakeknya dahulunya merupakan orang Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan
menetap disana, lalu di kota inilah terlahirnya imam at-Tirmizi. Sejak kecil ia
sudah suka mempelajari ilmu hadis dan melakukan perjalanan ke beberapa negri
untuk mendapatkan ilmu. Dalam perjalanannya inilah, ia bertemu dengan beberapa
ulama besar ahli hadis dan belajar hadis bersama mereka.
Imam Tirmidzi lebih populer dengan nama Abu Isa. Bahkan dalam
kitab al-Jami’nya, ia selalu memakai nama Abu Isa, meskipun sebagian ulama
sangat membenci sebutan tersebut dengan berargumen kepada sabda Nabi Muhammad
SAW yang diriwayatkan oleh Abu Syaibah bahwa “seorang pria tidak diperkenankan
memakai nama Abu Isa, karena, Isa tidak punya ayah”. Namun, tetap saja ini
tidak berpengaruh, karena, hal ini dimaksudkan untuk membedakan at-Tirmizi
dengan ulama yang lain, sebabada beberapa ulama besar yang juga terkenal dengan
nama at-Tirmizi, yaitu:[2]
a. Abu
Isa at-Tirmizi, pengarang kitab al-Jami’atau Sunan at-Tirmizi, tokoh yang
menjadi topik pembahasan pada tulisan ini.
b. Abu
al-Hasan Ahmad bin al-Hasan, yang masyhur dengan panggilan at-Tirmizi al-Kabir
c. Al-Hakim
at-Tirmidzi Abu Abdillah Muhammad Ali bin al-Hasan bin Basyar, seorang yang
berkepribadian zuhud, hafidz, muazzin, juga pengarang kitab yang biasa dikenal
dengan sebutan al-Hakim at-Tirmidzi.[3]
Adapun nisbat yang melekat pada at Tirmidzi adalah al Sulami,
dibangsakan dengan Bani Sulami, dan Kabilah Ailan. Sementara al Bugi adalah
tempat dimana at Tirmidzi wafat dan dimakamkan. Pada saat umurnya 70 tahun,
sang Illahi memanggil imam Tirmizi, bertepatan
pada tahun 279 H. Imam As Syakir menyebutkan bahwa Imam Tirmizi wafat
pada bulan Rajab tanggal 13 tahun 279 H pada malam Senin. Hal ini sejalan
dengan pendapat Al-Hafiz Al-Mizzi dalam kitab at Tahzib dari Al-Hafizh Abu
Abbas Ja’far Muhammad Ibn Mu’taz Al-Mustaghfiri, sebagai ahli sejarah yang
telah melawat ke Khurasan dan lama menetap disana. [4]
Kota Tirmiz merupakan sebuah kota yang banyak melahirkan dan membesarkan
ulama, baik itu ulama hadis, tasawuf dan bahasa Arab. Keadaan ini jugalah yang
mendukung imam Tirmidzi berpacu semangat dalam mempelajari dan mengumpulkan
hadis. Walaupun, keadaan kota kelahirannya mendukung untuk mempelajari dan
meriwayatkan hadis, namun imam Tirmizi belum merasa puas dengan keadaan
tersebut. Maka, untuk memenuhi rasa kepuasan dirinya, ia melakukan perjalanan
kebeberapa negeri untuk belajar dari ulama hadis yang ada di negeri tersebut.
Dalam perlawatannya, imam Tirmizi melakukan perjalanan ke Bukhara, Khurasan,
Naysabur, Iraq, Hijaz, Makkah, dan beberapa negeri lainnya.[5]
akan tetapi beliau tidak melakukan perjalanan ke Mesir dan Syam. Hal ini
disebabkan, karena keadaan yang tidak memungkin pada waktu itu, sehingga ia
meriwayatkan hadis dari ulama kedua negeri ini dengan perantaraan ulama
lainnya.[6]
Selain dua kota ini, imam Tirmizi juga tidak mendatangi kota Bagdag. Karena,
kemungkinan adanya situasi yang negatif di kota Bagdag ketika itu, sehingga ia
tidak dapat mendengar hadis secara langsung dari imam Ahmad Bin Hanbal.Dalam
pelawatannya, imam Tirmizi selalu mencatat hadis dari ulama yang ditemuinya.[7]
Ia meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Diantaranya
adalah Imam Bukhari, kepadanya ia belajar hadits dan fiqh. Ia juga belajar
kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Guru beliau lainnya adalah:
1. Qutaibah
bin Said
2. Ishaq
bin Rahawahib
3. Muhammad
bin ‘Amru as-Sawwaq al-Balqi
4. Mahmud
bin Galani
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan
oleh banyak ulama yang mayoritas mereka adalah murid-muridnya. Diantaranya
adalah: Makhul bin Fadl, Muhammad bin Mahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, Ai-bd bin
Muhammad an Nasfiyyun, al Haisam bin Kulaib asy Syasyi, Ahmad bin Yusuf an
Nasa’I, Abul ‘Abbas Muhammad bin Mahbub al Mahbubi. Mereka meriwayatkan kitab
Jami’nya dan kitab-kitab yang lain.[9]
Karya-karya
Imam Tirmidzi, Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab, diantaranya:
1. Al
Jami’ as Sahihain, yang terkenal dengan sebutan Sunan at Tirmidzi
2. Kitab
I’Illal
3. Kitab
Tarikh
4. Kitab
as-Sama’il al-Nabawiyyh
5. Kitab
al-Zuhud
Diantara
kitab-kitab diatas, yang paling terkenal adalah Al Jami’ as Sahihain atau Sunan
at Tirmidzi, dan kitab-kitab lainnya kurang dikenal dikalanngan masyarakat.
Judul lengkap kitab al–Jami’al–Shahih adalah
al-Jami’al–Mukhtasharminal–Sunan‘an Rasulillah Shallallahu ‘alahi wa Sallam wa
Ma’rifat al-Shahih wa al-Ma’lul wa Ma’ ‘alaihi al-‘Amal.[11]
Meski demikian kitab ini lebih popular dengan nama al–Jami’al–Tirmidzi atau
Sunanal–Tirmidzi.Untuk kedua penamaan ini tampaknya tidak dipermasalahkan oleh
ulama. Adapun yang menjadi pokok perselisihan adalah ketika kata-kata shahih
melekat dengan nama kitab. Al-Hakim (w. 405 H) dan al-Khatib al-Baghdadi (w.
483 H) tidak keberatan menyebut dengan Shahihal–Tirmidzi atau
al–Jami’al–Shahih.Berbeda dengan Ibn Katsir (w. 774 H) yang menyatakan pemberian
nama itu tidak tepat dan terlalu gegabah, sebab di dalam kitab
al–Jami’al–Tirmidzi tidak hanya memuat hadis shahih saja, akan tetapi memuat
pula hadis-hadis hasan, dha’if dan munkar, meskipun al-Tirmidzi selalu
menerangkan kelemahannya, ke-mu’alal-annya dengan kemunkarannya.
Dalam meriwayatkan hadis, al-Tirmidzi menggunakan metode yang
berbeda dengan ulama-ulama lain. Berikut metode-metode yang ditempuh oleh
al-Tirmidzi:
1. Men-takhrij
hadis yang menjadi amalan para fuqaha’.
Dalam kitabnya, al-Tirmidzi tidak meriwayatkan hadis, kecuali
hadis yang diamalkan oleh fuqaha’, kecuali dua hadis, yaitu, yang artinya:
“Sesungguhnya
Rasulullah menjama’ Shalat Zuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’, tanpa
adanya sebab takut, dalam perjalanan, dan tidak pula karena hujan”.
“Apabila
seseorang minum khamar, maka deralah ia, dan jika ia kembali minum khamar pada
yang keempat kalinya maka bunuhlah ia”.
·
Hadis pertama, menerangkan tentang men-jama’
shalat. Para ulama tidak sepakat untuk meninggalkan hadis ini, dan boleh
hukumnya melakukan shalat jama’ di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan.
Demikian pendapat Ibn Sirin serta sebagian ahli fiqih dan ahli hadis.
·
Hadis kedua, menerangkan bahwa peminum
khamarakan dibunuh jika mengulangi perbuatannya yang keempat kalinya. Hadis ini
menurut al-Tirmidzi dihapus oleh ijma’ ulama.
Dengan demikian dapat dipahami maksud al-Tirmidzi
mencantumkan hadis tersebut, adalah untuk menerangkan ke-mansukh-an hadis,
yaitu telah di-mansukh dengan hadis riwayat al-Zuhri dari Qabisah bin Zawaib
dari Nabi, yang menerangkan bahwa peminum khamar tersebut dibawa kepada Rasul.
Kemudia Rasul SAW. Memukulnya dan bukan membunuhnya.
2. Memberi
penjelasan tentang kualitas dan keadaan hadis.
Salah satu kelebihan al-Tirmidzi adalah ia mengetahui benar
keadaan hadis yang ia tulis. Hal itu berdasarkan hasil diskusinya dengan para
ulama tentang keadaan hadis yang ia tulis. Dalam kitab al–Jami’, al-Tirmidzi
mengungkapkan :
“Dan
apa yang telah disebutkan dalam kitab ini mengenai ‘ilal hadis, rawi ataupun
sejarah adalah hasil dari apa yang aku takhrij dari kitab-kitab tarikh, dan
kebanyakan yang demikian itu adalah hasil diskusi saya dengan Muhammad bin
Isma’il (al-Bukhari)”.
Pada
kesempatan lain al-Tirmidzi juga mengatakan :
“Dan
kami mempunyai argumen yang kuat berdasarkan pendapat ahli fiqih terhadap
materi yang kami terangkan dalam kitab ini”.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa usaha menjelaskan
keadaan suatu hadis dimaksudkan olah al-Tirmidzi untuk mengetahui kelemahan
hadis bersangkutan. Menurut al-Hafiz Abu Fadhil bin Tahir al-Maqdisi (w. 507 H)
ada empat syarat yang ditetapkan oleh al-Tirmidzi sebagai standarisasi
periwayatan hadis, yaitu:
1. Hadis-hadis
yang sudah disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim.
2. Hadis-hadis
yang shahih menurut standar keshahihan Abu Awud dan al-Nasa’I, yaitu
hadis-hadis yang para ulama tidak sepakat untuk meninggalkannya, dengan
ketentuan hadis itu bersambung sanadnya dan tidak mursal.
3. Hadis-hadis
yang tidak dipastikan keshahihannya dengan menjelaskan sebab-sebab
kelemahannya.
4. Hadis-hadis
yang dijadikan hujjah oleh fuqaha’, baik hadis tersebut shahih atau tidak.
Tentu saja ketidak-shahihannya tidak sampai pada tingkat dha’ifmatruk.
Kitab al-Jami’al-Shahih ini memuat berbagai permasalahan
pokok agama, di antaranya yaitu; al-aqa’id (tentang tauhid), al-ahkam (tentang
hukum), al-riqaq (tentang budi luhur), adab (tentang etika), al-tafsir (tentang
tafsir Al-Qur’an), al-tarikhwaal-siyar (tentang sejarah dan sejarah jihad Nabi
SAW.), al-syama’il (tabi’t), al-fitan (tentang terjadinya fitnah dan
malapetaka), dan al-manaqibwaal-masalib (tentang biografi sahabat dan tabi’in).
Oleh sebab itu kitab hadis ini disebut dengan al-Jami’.Secara keseluruhan,
kitab al-Jami’al-Shahih atau Sunanal-Tirmidzi ini terdiri dari 5 juz, 2375 bab
dan 3956 hadits.[12]
Menurut al-Tirmidzi, isi hadis-hadis dalam al-Jami’al-Shahih,
telah diamalkan ulama’ Hijaz, Iraq, Khurasan dan daerah lain (dalam kitab
Tarikh-nya, Ibnu Katsir meriwayatkan dari al-Tirmidzi, dia berkata: “Aku telah
menyusun kitab Musnad yang shahih ini dan telah aku tunjukkan kepada para ulama
Hijaz, Iraq, Khurasan dan mereka menyenanginya. Barangsiapa di rumahnya
terdapat kitab ini, maka seakan-akan di rumahnya ada seorang Nabi yang
bersabda), kecuali dua hadis (yang telah dibahas dimuka). Hadis ini
diperselisihkan ulama baik segi sanad maupun dari segi matan, sehingga sebagian
ulama ada yang menerima dan ada yang menolak dengan alasan-alasan yang
berdasarkan naqli maupun akal.[13]
Kitab al-Jami’al-Shahih ini disusun berdasarkan urutan bab
fiqih, dari bab thaharah seterusnya sampai dengan bab akhlaq, do’a, tafsir,
fadha’il dan lain-lain. Dengan kata lain al-Tirmidzi dalam menulis hadis dengan
mengklasifikasi sistematikanya dengan model juz, kitab, bab dan sub bab. Kitab
ini ditahqiq dan dita’liq oleh tiga ulama kenamaan pada generasi sekarang
(modern), yakni Ahmad Muhammad Syakir (sebagai Qadhi Syar’i), Muhammad Fu’ad
Abdul Baqi’ (sebagai penulis dan pengarang terkenal), dan Ibrahim ‘Adwah ‘Aud
(sebagai dosen pada Universitas al-Azhar Kairo Mesir).
Secara rinci sistematika kitab al-Jami’al-Shahihakan
dijelaskan sebagai berikut:
·
Juz I terdiri dari 2 kitab, tentang Thaharah dan
Shalat yang meliputi 184 bab 237 hadis.
·
Juz II terdiri dari kitab Witir, Jumu’ah, Idayn
dan Safar, meliputi260 bab dan 355 hadis.
·
Juz III terdiri dari kitab Zakat, Shiyam, Haji,
Janazah, Nikah, Rada’, Thalaq dan Li’an, Buyu’ dan al-Ahkam, meliputi 516 bab
dan 781 hadis.
·
Juz IV terdiri dari kitab Diyat, Hudud, Sa’id,
Dzaba’ih, Ahkam dan Sa’id, Dahi, Siyar, FadhilahJihad, Libas, Ath’imah,
Asyribah, BirrwaShilah, al-Thibb, Fara’id, Washaya, Wali dan Hibbah, Fitan,
al-Ra’yu, Syahadah, Zuhud, Qiyamah, Raqa’iq dan Wara’, Jannah dan Jahannam,
meliputi 734 bab dan 997 hadis.
·
Juz V terdiri dari 10 pembahasan, tentang Iman,
‘Ilm, Isti’dzan, Adab, al-Nisa’, Fadha’ilal-Qur’an, Qira’ah, Tafsiral-Qur’an,
Da’awat, Manaqib, yang meliputi 474 bab dan 773 hadis, di tambah tentang
pembahasan ‘Ilal.
Terlepas dari kebesaran dan kontribusi yang telah diberikan
oleh al-Tirmidzi melalui kitabnya, tetap muncul pelbagai pandangan
kontroversial antara yang memuji dan mengkritik karya tersebut. Di antaranya
adalah al-Hafiz al-‘Alim al-Idrisi, yang menyatakan bahwa al-Tirmidzi adalah
seorang dari para Imam yang memberikan tuntunan kepada mereka dalam ilmu
hadits, mengarang al-Jami’, Tarikh, ‘Ilal, sebagai seorang penulis yang ‘alim
yang meyakinkan, ia seorang contoh dalam hafalan.
Lain halnya dengan al-Hafiz Ibn Asihr (w. 524 H), yang
menyatakan bahwa kitab al-Tirmidzi adalah kitab shahih, juga sebaik-baiknya
kitab, banyak kegunaannya, baik sistematika penyajiannya dan sedikit sekali
hadis-hadis yang terulang. Di dalamnya juga dijelaskan pula hadis-hadis yang
menjadi amalan suatu mazhab disertai argumentasinya.Di samping itu al-Timidzi
juga menjelaskan kualitas hadis, yaitu shahih, saqim dan gharib.Dalam kitab
tersebut juga dikemukakan kelemahan dan keutamaan (al-Jarhwaal-Ta’dil) para
perawi hadis.Ilmu tersebut sangat berguna untuk mengetahui keadaan perawi hadis
yang menetukan apakah dia diterima atau ditolak.
Sementara Abu Isma’il al-Harawi (w. 581 H) berpendapat, bahwa
kitabal-Tirmidzi lebih banyak memberikan faedah dari pada kitab ShahihBukhari
dan ShahihMuslim, sebab hadis yang termuat dalam kitab
al-Jami’al-Shahihal-Tirmidzi diterangkan kualitasnya, demikian juga dijelaskan
sebab-sebab kelemahannya, sehingga orang dapat lebih mudah mengambil faedah
kitab itu, baik dari kalangan fuqaha’, muhadditsin, dan lainnya.
Al-‘Allamah al-Syaikh’ Abd al-‘Aziz berpendapat, bahwa kitab
al-Jami’al-Shahihal-Tirmidzi adalah kitab yang terbaik, sebab sistematika
penulisannya baik, yaitu sedikit hadis-hadis yang disebutkan berulang-ulang,
diterangkan mengenai mazhab-mazhabfuqaha’ serta cara istidlal yang mereka
tempuh, dijelaskan kualitas hadisnya, dan disebutkan pula nama-nama perawi,
baik gelar maupun kunyahnya.
Seorang orientalis Jerman, Brockelman menyatakan ada sekitar
40 hadis yang tidak diketahui secara pasti apakah hadis-hadis itu termasuk
hadis Abi Isa al-Tirmidzi.Sekumpulan hadis itu dipertanyakan apakah kitab yang
berjudul al-Zuhud atau al-Asma’waal-Kunya.Ada dugaan keras bahwa kumpulan hadis
itu adalah al-Fiqh atau al-Tarikh, tetapi masih diragukan.
Ignaz Goldziher dengan mengutip pendapat al-Zahabi telah
memuji kitab al-Jami’ al-Shahih dengan memberikan penjelasan bahwa kitab ini
terdapat perubahan penetapan isnad hadis, meskipun tidak menyebabkan penjelasan
secara rinci, tetapi hanya garis besarnya.Di samping itu, di dalam kitab
al-Jami’al-Shahih ini ada kemudahan dengan memperpendek sanad.
Kendati banyak yang memuji kitab al-Jami’al-Tirmidzi, namun
bukan berarti kemudian luput dari kritikan.Al-HafizIbnal-Jauzi (w. 751 H)
mengemukakan, bahwa dalam kitab al-Jami’al-Shahihlial-Tirmidzi terdapat 30
hadis maudu’ (palsu), meskipun pada akhirnya pendapat tersebut dibantah oleh
Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H) dengan mengemukakan, bahwa hadis-hadis yang
dinilai palsu tersebut sebenarnya bukan palsu, sebagaimana yang terjadi dalam
kitab ShahihMuslim yang telah dinilainya palsu, namun ternyata bukan palsu.
Di kalangan ulamahadis, al-Jauzi memang dikenal terlalu
tasahul (mudah) dalam menilai hadis sebagai hadis palsu.Mengacu kepada pendapat
al-Suyuti, dan didukung oleh pengakuan mayoritas ulama hadis seperti telah
dikemukakan, maka penilaian Ibn al-Jauzi tersebut tidak merendahkan al-Tirmidzi
dan kitab al-Jami’al-Shahih-nya.[14]
KESIMPULAN
Terlepas
dari kebesaran dan kontribusi yang telah diberikan oleh al-Tirmidzi melalui
kitabnya, tetap muncul berbagai pandangan kontroversial antara yang memuji dan
mengkritik karya tersebut. Di antaranya adalah al-Hafiz al-‘Alim al-Idrisi,
yang menyatakan bahwa al-Tirmidzi adalah seorang dari para Imam yang memberikan
tuntunan kepada mereka dalam ilmu hadis, mengarang al-Jami’, Tarikh, ‘Ilal,
sebagai seorang penulis yang ‘alim yang meyakinkan, ia seorang contoh dalam
hafalan.
Karena
pentingnya ilmu Hadits maka sebagai umat islam kita seharusnya lebih memahami
secara akan ilmu hadits tersebut serta mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu, kita harus tetap menjaga kemurnian dari isi hadits
tersebut, karena bagaimanapun hadits merupakan pedoman setelah Al-Qur’an.
No comments:
Post a Comment