DISUSUN
OLEH:
FAUZAN MAULANA, S.SOS
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Hadits dalam ajaran Islam
menempati posisi yang sangat strategis. Hal itu terjadi karena hadits menjadi
sumber hukum kedua bagi hukum-hukum Islam. Para ulama sepakat bahwa hadits atau
sunnah memiliki tiga fungsi utama dalam rangka hubungannya dengan Al-Qur’an,
yakni kadangkala berfungsi sebagai bayan
ta’qid terhadap ketentuan hukum yang ada dalam Al-Qur’an, atau bayan tafsir terhadap kemujmalan
Al-Qur’an dan fungsi bayan tasyri’
terhadap segala sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an.[1]
Oleh karena sedemikian sentralnya
keberadaan hadits nabi maka banyak penelitian dan kajian-kajian yang dilakukan
ulama-ulama hadits untuk menentukan atau mengetahui kualitas hadits yang
diteliti dalam hubungannya dengan kehujahan hadits yang bersangkutan.
Penelitian pengkajian hadits itu
ternyata tidak hanya milik kaum muslimin tetapi musuh-musuh Islam pun melakukan
kajian-kajian terhadap hadits itu, diantaranya dilakukan oleh orientalis, yang
memiliki tujuan untuk meragukan dasar-dasar kebenaran hadits sebagai dalil atau
hanya sebagai dasar argumentasi saja.[2]
Gugatan orientalis terhadap hadits
dimulai pada pertengahan abad ke-19
M . adalah Alois Sprenger, yang pertama kali
mempersoalkan status hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai
riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah
tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot
(cerita-cerita bohong tapi menarik). Klaim ini disetujui oleh rekan satu
misinya William Muir. Menurutnya dalam literatur hadits, nama Nabi Muhammad SAW
sengaja dicatut untuk menutupi bermacam-macam kebohongan.[3]
Kajian Islam yang dilakukan oleh
orientalis pada mulanya hanya ditujukan hanya kepada materi-materi keislaman
secara umum, termasuk bidang sastra dan sejarah. Baru pada masa-masa belakangan
mereka mengarahkan kajiannya secara khusus kepada bidang Hadits Nabawi.
Para Orientalis beranggapan bahwa hadits
bukan merupakan penjelasan hukum atau penjabaran hukum yang terdapat didalam
Al-Qur’an, akan tetapi hadits merupakan penguat dari hukum-hukum fiqh yang
diciptakan para ulama fiqh. Jadi keberadaan hadits itu didahului oleh hukum
fiqh, kemudian mereka datangkan hadits untuk memperkuat.
Serangan terhadap hadits itu
mencapai puncaknya setelah Ignaz Goldziher menulis Muhammadenische Studien
(Studi Islam) yang dipandang sebagai kritikan paling penting terhadap hadits
diabad 19. Kurang lebih enam puluh tahun sesudah terbitnya buku Goldziher itu,
Joseph Schacht yang juga orientalis Yahudi menerbitkan hasil penelitiannya
tentang hadits dalam sebuah buku yang berjudul The Origins of Muhammadan
Jurisprudence.
Dari sekian banyaknya tokoh
orientalis, Ignaz Goldziher dan Joseph Schaht adalah tokoh yang paling terkemuka
dalam pengkajian hadits. secara khusus memfokuskan diri dalam pengkajian Ilmu
Hadits keduanya mencoba menelaah dan mengkritik konsturksi hadits berdasarkan
prespektif orientalisme. Baik Goldziher maupun Schaht meragukan otentisitas
hadits, sedangkan Schact berpendapat lebih jauh sampai pada kesimpulan yang
meyakinkan bahwa tidak ada satupun hadits yang otentik dari Nabi s.a.w,
khususnya hadits-hadits yang berhubungan dengan hukum Islam.[4]
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Orientalisme
Orientalisme merupakan istilah
yang diambil dari bahasa Perancis dengan asa kata ”orient” yang berarti timur
dan ”isme” artinya faham, ajaran, cita-cita atau sikap. Sedangkan menurut
Mustolah Maufur bahwa kata ”orient” berasal dari bahasa Latin ”oriri” yang
berarti terbit, dan dalam bahasa Inggris artinya ”direction of rising sun”
(arah terbitnya matahari atau bumi belahan Timur).
Menurut H.M. Joesoef Sou’yb
Orientalisme berasal dari kata orient, bahasa Perancis, yang secara harfiah
berarti timur dan secara geografis berarti dunia belahan timur, dan secara
etnologi berarti bangsa-bangsa di timur. Kata Orient itu memasuki berbagai
bahasa di Eropa, termasuk Inggris. Oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti
hal-hal yang bersifat Timur yang sangat luas ruang lingkupnya. Suku kata isme
(Belanda) atau ism (Inggris) menunjukkan pengertian tentang sesuatu paham. Jadi
Orientalisme adalah sesuatu paham atau aliran, yang berkeinginan menyelidiki
hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa Timur beserta lingkungannya.
Lawan kata orien dalam bahasa
Perancis adalah occident, yang secara harfiah berarti Barat dan secara
geografis berarti dunia belahan Barat, dan secara etnologi berarti
bangsa-bangsa di Barat. Adapun kada Occidental berarti hal-hal yang berkaitan
dengan dunia Barat beserta lingkungannya.[5]
B.
Hadits
Dalam Pandangan Orientalis
Hadits adalah sebuah bangunan yang
mengandung ucapan, perbuatan atau ketentuan-ketentuan yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad Saw., sehingga bagi orientalis hadits adalah merupakan kajian
yang mudah bagi mereka untuk mendistorsikan hadits secara keseluruhan.
Ada beberapa faktor yang mendorong
hadits menjadi kajian orientalis dalam menjelekan Islam, yaitu;
1.
Faktor lebih mudahnya usaha memburukkan Islam
melalui penyelidikan hadits daripada penelitian terhadap Al-Qur’an. Beberapa
studi yang dibuat secara serius, objektif dan jauh dari polemik telah
menunjukkan adanya keinginan kuat para orientalis untuk mendiskriditkan Islam.
2.
Faktor lain yang juga kuat dalam mendorong
perhatian terhadap penyelidikan hadits adalah banyaknya kontradiksi dalam
materi corpus hadits sendiri.[6]
Tiga wilayah cakupan studi hadits
yang telah dikenal umum oleh para muhadditsin untuk menentukan otentisitas
hadits yaitu pelacakan isnad hadits, ktirik matan dan metode kritik perawi,
dibongkar kembali oleh para orientalis dan memunculkan tesis-tesis baru yang
menyanggah kebenaran-kebenaran hadits; terutama kebenaran bahwa hadits berasal
dari Muhammad.
Aspek-aspek yang dijadikan sebagai
lahan kritik orientalis dalam penolakan mereka terhadap otentisitas hadits,
diantaranya banyak argumen yang secara umum dikemukakan oleh mereka, yaitu :
1.
Aspek Pribadi Nabi Muhammad
Argumen pertama dan paling utama
orientalis meragukan otentisitas hadits adalah bahwa hadits-hadits itu buatan
manusia dan bukan wahyu. Menurut orientalis, pribadi Muhammad perlu
dipertanyakan, mereka membagi status Muhammad menjadi tiga, sebagai Rasul,
kepala negara dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Sesuatu yang
didasarkan dari Nabi Muhammad baru disebut hadits jika sesuatu tersebut
berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak
layak disebut dengan hadits, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status
lain seorang Muhammad.
2.
Aspek Asanid (Rangkaian Perawi).
Orientalis memiliki kesimpulan
bahwa semua asanid itu fiktif atau bahwa yang asli dan yang palsu itu tidak
bisa dibedakan secara pasti. Isnad yang sampai kepada Nabi Muhammad jauh lebih
diragukan ketimbang isnad yang sampai kepada shahabat.
3.
Aspek Matan
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa
ktirik isnad adalah satu-satunya metode yang dipraktekkan ahli-ahli hadits
untuk menyaring mana hadits yang shahih dan hadits mana yang tidak shahih.
Menurut orientalis, matan hampir tidak pernah dipertanyakan, hanya saja jika
isi sebuah hadits yang isnad-nya shahih jelas bertentangan dengan Al-Qur’an,
baru ditolak kalau isinya dapat diinterpretasikan sedemikian sehingga menjadi
selaras dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits lain maka hadits itu tidak dikritik.[7]
Kajian-kajian yang dilakukan oleh
orientalis yaitu Ignaz Goldziher dan Josepht Schahct atas keraguannya terhadap
otentisitas hadits.
1.
Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher adalah orientalis
Hungaria yang dilahirkan dari keluarga Yahudi pada tahun 1850 M, Ia belajar di
Budapest, Berlin dan Leipzig. Pada tahun 1873 ia pergi ke Syiria dan belajar
pada Syeikh Tahir al-Jazairi. Kemudian Pindah ke Palestina, lalu ke Mesir
dimana ia belajar dari sejumlah ulama di Universitas Al-Azhar Kairo. Pada tahun
1894 dia menjadi calon tenaga pengajar bahasa Semit dan pada tahun 1904 menjadi
guru besar bahasa-bahasa Semit di Universitas Budapest akhirnya ia meninggal
pada 13 November 1921.
Karya-karya tulisannya yang
membahas masalah-masalah keislaman banyak di publisir dalam bahasa Jerman,
Inggris dan Perancis. Bahkan sebagian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan
yang paling berpengaruh dari karya-karya tulisannya adalah buku Muhammadanische
Studien, dimana ia menjadi sumber rujukan utama dalam penelitian hadits di
Barat. Di samping karyanya yang lain seperti: Le Dogme et Les Lois de L’Islam (The Principle of Law is Islam), Introduction to Islamic Theology and Law,
Etudes Sur La Tradition Islamique.[8]
2.
Joseph Schacht
Josepht Schahct adalah seorang
profesor kelahiran Silisie Jerman pada tanggal 15-3-1902. Karirnya sebagai
orientalis diawali dengan belajar filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa
timur di universitas Berslaw dan universitas Leipzig. Ia meraih gelar doktor
dari universitas Berslaw pada tahun 1923 ketika berumur 21 tahun.
Pada tahun 1925 ia diangkat jadi
dosen di Universitas Fribourg dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagi guru
besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke universitas Kingsbourgh dan 2 tahun
kemudian ia meninggalkan negrinya jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan
bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (universitas Cairo) di Mesir. Ia
tinggal di Mesir sampai tahun 1939 sebagai guru besar. Karena meletus perang
dunia II Schacht pindah ke Inggris dan belajar lagi di Pasca Sarjana Universitas
Oxford. Gelar doktor diraihnya pada tahun 1952. Pada tahun 1954 ia pindah ke
Belanda sebagai guru besar di universitas Leiden sampai tahun 1959. Ia pindah
lagi ke universitas Columbia New York sebagai guru besar sampai ia meninggal
pada tahun 1969.
Adapun karya ilmiah yang pernah
ditulisnya adalah The Origins of Muhammad Jurisprudence (Oxford: Claredon
Press, 1950), An-Introduction to Islamic Law (Oxford: Claredon Press, 1964),
Islamic Law dalam The Encyclopedia of Social Sciences (11932), Pre Islamic
Background and Early Development of Jurisprudence dalam Law in Middle East:
Original Development (Washington, DC. The Middle East Institute, 1995) dan
karya terakhirnya adalah Theology and Law in Islam (Wiesbaden: Otto
Harrosowitz, 1997).[9]
C.
Bantahan
Ulama Terhadap Pandangan Orientalis
Dari pandangan orientalis yang
menanggapi keraguan otentisitas hadits yang dilontarkan dua tokoh orientalis
tersebut, sedikitnya telah disanggah oleh para ahli Hadits kontemporer.
Diantaranya adalah Prof. Dr. Mustafa al-Siba’i (Guru Besar Universitas
Damaskus) dalam bukunya al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islam, Prof.
Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah qabla al-Tadwin, Prof Dr.
Muhammad Mustafa Azami (Guru Besar Ilmu Hadits Universitas King Saud Riyadh)
dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature.
Bahwa banyak hadits yang diyakini
ditulis satu abad setelah wafat nabi tahun 632 ini adalah tidak benar. Ulama
Islam seperti Mustafa al-A’zami dan Mustafa As-Syiba’i mengkritik tesis dan
fremis orientalis itu. Al-‘Azami berpendapat bahwa para shahabat nabi
menuliskan hadits-hadits dan bahwa periwayatannya pun dilakukan secara tertulis
hingga hadits-hadits itu dikodifikasikan pada abad ke tiga hijriah. Menurut
Tirmidzi, ada beberapa shahabat yang memiliki dokumen hadits antara lain Ibnu
Sa’ad Bin Ubadah Al-Ansary, Abdullah bin Abi Aufa, yang menulis shahifah
sendiri, dan Samrah bin Zundar. Orang yang pertama menuliskan kitab hadits yang
dikenal dengan Ibnu Syihab Az-Zuhri. Selain itu tidak kurang dari 52 shahabat
memiliki naskah-naskah catatan hadits. Demikian pula tidak kurang dari 247
Tabi’in (generasi sesudah shahabat) juga memiliki hal serupa.[10]
Mengenai tuduhan terhadap Imam
al-Zuhri yang bersekongkol dengan penguasa Umayah dalam memalsukan hadits,
Menurut Azami, tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher,
bahkan justru sebaliknya. Para ahli tarikh berbeda pendapat tentang kelahiran
al-Zuhri, antara 50 sampai 58 H, Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abd
al-Malik bin Marwan sebelum tahun 81. Pada tahun 68 orang-orang dari Dinasti
Bani Umayah berada di Mekah pada musim haji. Dari Prof. Dr. Azami berkesimpulan
bahwa Abd al-Malik bin Marwan baru berfikir untuk membangun Qubbah Sakhra yang
konon akan dijadikan pengganti Ka’bah itu pada tahun 68 H.[11]
Apabila demikian halnya, maka
al-Zuhri pada saat itu baru berumur 10 sampai 18 tahun. Karenanya sangat tidak
logis seorang anak yang baru berumur belasan tahun sudah populer sebagai
seorang intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri,
dimana ia mengubah pelaksanaan ibadah haji dari Mekkah ke Jerusalem. Selain itu
kata Mustafa As-Syiba’i, bahwa Az-Zuhri bukanlah abdi Umayyah yang taat dan
rendah hati, yang segera melakukan apa yang disuruhkan kepadanya, tetapi
seorang ulama yang lurus dan teguh yang tak seorang pun pernah mendapati ia
mengucapkan kepalsuan yang bertentangan dengan agama atau hati nurani
keulamannya.[12]
Argumen lain yang juga meruntuhkan
teori Goldziher ini adalah tek Hadits itu sendiri sebagaimana termaktub dalam
kitab Shahih al-Bukhari. Disitu tidak ada satu isyarat pun yang menunjukkan
bahwa haji dapat dilakukan di al-Quds (Jerussalem), yang ada hanyalah isyarat
pemberian ‘keistimewaan’ kepada Masjid al-Aqsha.
Dalam hal ini orientalis memiliki
pengetahuan yang terbatas dalam metodologi dan teknik memahami matan hadits.
Mereka pada umumnya memahami matan hadits tanpa mempertimbangkan hal-hal
dibalik teks. Metode untuk memahami hadits ini namakan “Metode Kesatuan”
(al-Munasabah) yang diadopsi dari metode tafsir namun dalam kontek yang lebih
luas. Dalam pengoperasiannya metode ini menghubungkan matan hadits dengan
matan-matan lainnya. Atau bahkan dengan ayat Qur’an dan riwayat hidup nabi.
Selanjutnya untuk menghancurkan
teori Schacht (Projecting back), Azami melakukan penelitian tentang
hadits-hadits nabawi, diantaranya naskah milik Suhail bin Abi Shalih (w. 138
H). Abu Shalih adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi s.a.w. Karenanya, sanad
(transmisi) Hadits dalam Naskah itu berbentuk : Nabi s.a.w–Abu Hurairah–Abu
Shalih–Suhail.[13]
Azami membuktikan bahwa pada
jenjang ketiga (Suhail) jumlah rawi berkisar antara 20 sampai 30 orang.
Sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai
Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadits yang mereka riwayatkan
redaksinya sama. Maka azami berkesimpulan, sangat mustahil menurut ukuran
situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadits
palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka
masing-masing membuat Hadits, kemudian generasi-generasi berikutnya diketahui
bahwa redaksi hadits yang mereka buat itu sama.
D.
Kontribusi
Orientalis Terhadap Hadits
Dalam sejarah yang panjang
dikalangan orang Islam, orientalis dikenal sebagai orang Barat yang menekuni
masalah-masalah yang berhubungan dengan Islam, dengan berbagai kajian
ketimuran, baik konsumsi politik penjajahan maupun dalam bentuk penelitian
ilmiah yang terselubung dengan membawa misi kristenisasi, zionesme dan
sebagainya.
Walaupun demikian, masih terdapat
orientalis yang hanya menggunakan pendekatan ilmiah atau setengah ilmiah,
khususnya ketika pengkajian Islam di berbagai lembaga di Barat tidak lagi
dibawah organisasi keagamaan atau fakultas teologi, dan setelah orientalis
tidak lagi sepenuhnya berasaal dari kalangan tokoh-tokoh agama semata. Ini
secara khusus dalam perkembangan terakhir orientalisme mengenai Islam.
Dari kalangan inilah lahir hasil
karya yang banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan kajian Islam
dikalangan muslim dan bukan muslim. Saham terbesar adalah karya dalam bidang
penyusunan berbagai indeks, kamus, leksikon dan ensiklopedi secara kolektif dan
perorangan.
Kontribusi karya orientalis yang
banyak digunakan ilmuwan dan ulama Islam khususnya dalam bidang hadits adalah
indek hadits Consordance et Indices da la Traadition Musulmane, dibawah asuhan
orientalis Belanda A.J. Wensinck, terdiri atas 7 jilid.[14]
Hingga sekarang belum ada indeks
hadits yang lebih baik dan sistematis, disusun berdasarkan kitab-kitab hadits
yang digunakan umat Islam, terutama Kutubus Sittah. Dengan mempergunakan indeks
ini, kita dapat mencari perawi sebuah hadits, kutipan pokok “matan” (teks)
hadits dan dalam kitab mana kita dapat menemukannya. Ini sangat penting,
mengingat matan hadits tidak dapat di cek kebenarannya secara mudah seperti
mengecek kebenaran ayat Al-Qur’an.
Dalam indeks ini, kita tidak lagi
direpotkan untuk meneliti satu persatu daftar isi semua kitab hadits untuk
menemukan hadits yang dicari, tetapi cukup dengan mencari pokok atau kata kunci
dalam sebuah hadits, kemudian dapat dicari langsung pada sumber yang
ditunjukkannya. Kesulitan kecil yang ditemukan adalah indeks ini disusun
berdasarkan kitab-kitab hadits sebelum tahun 1939, sementara kitab-kitab hadits
tersebut telah diterbitkan lagi dalam berbagai edisi, sehingga kadang-kadang,
halaman dan jilid buku hadits yang ditunjuk oleh indeks tidak lagi persis.
Selain itu akhir-akhir ini telah terbit kitab-kitab yang menyaring kembali
hadits-hadits menurut shahih dan dha’ifnya, seperti beberapa jilid tebal oleh
Nashiruddin Al-Albani.
PENUTUP
Berdasarkan paparan di atas, bahwa
di dunia Islam pemaknaan orientalis mengalami penyempitan objek bahasan.
Orientalis dipahami sebagai pengkajian Islam menurut orang Barat atau sarjana
lainnya yang berkiblat ke Barat. Pengkajian yang dilakukan lebih cenderung
berkiblat ke Barat dengan etnosentrisnya, orientalisme dalam dunia Islam kemudian
juga dipahami sebagai gazwah al-fikr dari diskursus Barat dalam upaya
melemahkan nilai-nilai dan semangat keagamaan umat Islam.
Goldziher dan Schacht sebagai
orientalis yang terkemuka dan berpengaruh memiliki pandangan bahwa hadits itu
diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi s.aw. menurut mereka hadits adalah
buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijriyah setelah Nabi Muhammad SAW
wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau, dengan alasan ketidakmungkinan
keshahihan hadits dalam masyarakat Islam pada abad pertama, kemudian Goldziher
menawarkan metodenya dengan menggunakan kritik matan. Sementara menurut Schacht
sanad mulai dari sumber pertama sampai yang terakhir, yang atas mereka keaslian
sebuah hadits disandarkan pada Nabi SAW menurut otentisitasnya sangat
diragukan. Untuk membuktikan kepalsuan-kepalsuan itu ia lalu menyodorkan teori
Projecting back.
Sanggahan-sanggahan dilakukan oleh
para Ulama hadits untuk merontokkan teori-teori mereka. Dan ada beberapa
catatan yang dapat dikemukakan bahwa adanya sekumpulan subjektivitas paradoks
dari keduanya sebagai orientalis yang setidaknya menyimpan misi-misi tersendiri
untuk menyudutkan Islam dibalik kacamata orientalisme, yang sesungguhnya
merupakan neo-kolonialisme atas belahan dunia Timur, khususnya kawasan Islam.
Kemudian mereka memiliki kemampuan yang terbatas dalam metodologi dan teknik
memahami hadits dengan tanpa mempertimbangkan hal-hal lain dibalik maksud dari
hadits tersebut.
[1] M. Hasybi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), Cet. IV, Hlm. 154.
[2] M. Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang,
1992). Hlm. 28
[3] Ibid
[4]
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2, Hlm. 8
[7] G.H.A. Juyhnbool,
The
Authenticity of Tradition Literature Discussions in Modern Egypt,, trj.
Ilyas Hasan (Bandung : Mizan, 1999), Hlm 202
[8] Ahmad Muhammad
Jamal, Membuka Tabir Upaya Orientalis Dalam Memalsukan Islam, Cet. I,
(Bandung, 1991), Hlm.103
No comments:
Post a Comment